Presiden Prabowo Subianto telah memerintahkan empat kementerian untuk menyelamatkan PT. Sri Rejeki Isman (Sritex), sebuah perusahaan tekstil ternama yang telah berkiprah selama 53 tahun namun kini mengalami kebangkrutan. Langkah ini mendapat apresiasi dari Koordinator Aliansi Masyarakat Tekstil Indonesia (AMTI), Agus Riyanto, yang menilai tindakan cepat Presiden sebagai langkah positif untuk industri tekstil nasional. Namun, ia menekankan bahwa perbaikan ekosistem industri tekstil secara menyeluruh harus menjadi prioritas utama.

“Kurang dari 1 bulan, pemerintah langsung bergerak cepat. Ini luar biasa. Namun, perlu diperhatikan bahwa ekosistem tekstil kita sudah lama rusak akibat maraknya importasi borongan dan ilegal,” ujar Agus dalam pernyataan di Jakarta, Rabu (6/11/2024).

Revisi Permendag 8/2024 Dinilai Tidak Cukup

Menurut Agus, revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8 Tahun 2024 bisa dilakukan, tetapi tidak akan efektif jika masalah importasi ilegal tetap dibiarkan merajalela. Ia menegaskan bahwa langkah-langkah penegakan hukum terhadap impor ilegal dan penghentian importasi borongan harus menjadi agenda utama dalam menyelamatkan industri tekstil dalam negeri.

“Revisi Permendag 8, kalau harus dilakukan, tidak akan memberikan perubahan besar. Perubahan hanya perlu dilakukan pada bahan baku plastik. Yang lebih penting adalah memberantas impor ilegal yang tidak mengikuti aturan maupun membayar pajak. Saat ini, 80% pasar tradisional tekstil kita sudah didominasi oleh produk impor ilegal, dan ini harus diberantas hingga ke akarnya,” jelas Agus.

Dampak Impor Ilegal terhadap Industri Tekstil

Praktik impor ilegal dan borongan yang tidak diatur dan tidak membayar pajak telah menjadi ancaman serius bagi kelangsungan industri tekstil di Indonesia. Agus menekankan bahwa jika pemerintah dan aparat penegak hukum dapat menghentikan praktik ini, maka perusahaan seperti Sritex dan industri tekstil lainnya akan memiliki kepastian pasar domestik yang lebih baik. Hal ini akan membantu kelancaran arus kas dan stabilitas finansial perusahaan-perusahaan tersebut.

“Pembenahan harus holistik. Jika impor borongan dihentikan dan praktik ilegal diusut hingga tuntas, Sritex bisa pulih secara bertahap, begitu pula dengan industri tekstil lainnya,” tambah Agus.

Dukungan dari Bea Cukai dan Kementerian Keuangan

Agus juga mengungkapkan bahwa praktik impor borongan dan ilegal ini sudah menjadi rahasia umum yang diketahui oleh instansi terkait, seperti Bea Cukai dan Kementerian Keuangan. Meski demikian, penanganan praktik ini masih dianggap kurang optimal. Ia berharap pemerintah serius dalam mengungkap dan menindak pelaku importasi ilegal.

“Praktik ini sudah lama berlangsung dan bahkan dipublikasikan secara terang-terangan. Bea Cukai dan Kementerian Keuangan sudah mengetahui praktik-praktik ini,” ujarnya. Agus menambahkan bahwa pembenahan di tubuh Bea Cukai sangat diperlukan untuk mendukung upaya pemerintah dalam memberantas importasi ilegal dan menjaga ketertiban industri tekstil nasional.

Optimalisasi Peran Satgas

Agus berharap bahwa keberadaan Satuan Tugas (Satgas) yang telah dibentuk dapat dioptimalkan untuk menemukan dan menindak pelaku impor ilegal. Dengan pengawasan dan penindakan yang lebih tegas, ekosistem industri tekstil nasional bisa kembali sehat dan bersaing di pasar domestik maupun internasional.

“Kita sudah punya Satgas. Yang diharapkan adalah optimalisasi kinerjanya agar para pelaku importasi ilegal ini dapat diungkap. Pembenahan juga perlu dilakukan di Bea Cukai,” tutup Agus.

Dengan penanganan yang komprehensif dan serius dari pemerintah, diharapkan industri tekstil Indonesia dapat pulih dan berkembang lebih kuat, mendukung perekonomian nasional, dan menciptakan lapangan kerja yang lebih luas.