Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia saat ini tengah berada di ambang kehancuran. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, menyampaikan kekhawatirannya atas situasi yang semakin parah ini. Redma menyerukan tindakan drastis berupa pembekuan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai di Kementerian Keuangan. Langkah ekstrem ini diusulkan sebagai cara untuk memberantas mafia impor yang telah merusak pasar tekstil domestik selama lebih dari satu dekade.

Menurut Redma, rantai integrasi industri TPT telah rusak akibat membanjirnya impor ilegal. Bahkan, dalam kurun waktu yang singkat, 30 pabrik tekstil terpaksa tutup sejak kuartal ketiga tahun 2022. Ini merupakan dampak langsung dari lemahnya pengawasan terhadap barang impor yang masuk ke Indonesia, baik yang legal maupun ilegal. "Untuk menghentikan barang impor ilegal, bea cukai harus dibekukan sementara dan dilakukan penyelidikan menyeluruh terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam importasi ilegal," tegas Redma.

Dampak yang Sistemik dan Kehilangan Pasar Domestik

Situasi ini tidak hanya mengancam pabrik-pabrik tekstil di hilir tetapi juga mengancam industri di hulu, yang menghasilkan serat dan benang. Salah satu contohnya adalah PT Sejahtera Bintang Abadi Textile Tbk (SBAT), sebuah perusahaan tekstil di Bandung yang tengah menghadapi berbagai gugatan hukum dan masalah keuangan. Bursa Efek Indonesia bahkan telah menghentikan perdagangan saham SBAT sejak September 2024 karena tidak memenuhi kewajiban perusahaan dan ketidakpastian kelangsungan usahanya.

Jika pabrik-pabrik tekstil seperti SBAT tak lagi mampu bertahan, maka efek domino akan meluas ke industri hulu. Hal ini karena pembeli dari industri hulu akan semakin berkurang, menimbulkan dampak negatif terhadap produsen serat dan benang dalam negeri.

Kekhawatiran GPEI dan Ancaman Pengalihan Ekonomi TPT

Benny Soetrisno, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Impor (GPEI), juga menyampaikan kekhawatiran serupa. Menurut Benny, banjirnya produk tekstil impor dari China, baik legal maupun ilegal, menjadi ancaman serius bagi kelangsungan industri TPT di Indonesia. Produk tekstil asal China yang masuk ke Indonesia telah membuat industri hilir kesulitan bersaing dan bahkan terpaksa tutup. Akibatnya, kebutuhan bahan baku dari industri hulu dalam negeri ikut menurun, mempercepat keruntuhan industri TPT.

Benny mengingatkan bahwa jika situasi ini dibiarkan, Indonesia akan menjadi sekadar konsumen TPT tanpa memiliki industri domestik yang kuat. "Kalau dibiarkan, akan tidak ada lagi industri TPT di negeri ini. Yang ada tinggal konsumen TPT," ujarnya. Untuk mencegah hal ini, Benny mengusulkan tiga strategi utama.

Tiga Strategi Penyelamatan Industri TPT Nasional

Benny menawarkan tiga langkah strategis untuk mencegah keruntuhan industri TPT nasional yang sudah bersifat sistemik ini:

Evaluasi Kebijakan Perdagangan: Pemerintah perlu mengevaluasi perjanjian perdagangan bebas (FTA) yang diikuti Indonesia dan kebijakan perdagangan lainnya agar lebih berpihak pada industri domestik.
Pengawasan Impor yang Ketat: Penataan dan pengawasan terhadap barang impor, baik yang legal maupun ilegal, harus diperketat. Hal ini untuk mencegah banjirnya produk-produk impor yang menghancurkan pasar domestik.
Dukungan Keuangan untuk Perusahaan Tekstil: Pemerintah diharapkan memberikan program bantuan dan dukungan keuangan kepada perusahaan TPT yang mengalami kesulitan agar mereka dapat bertahan dalam situasi yang penuh tekanan ini.
Dengan mengambil langkah-langkah tersebut, diharapkan industri TPT nasional bisa kembali bangkit dan mampu bersaing di pasar domestik. Tindakan drastis dari pemerintah sangat diperlukan untuk mengatasi masalah sistemik ini sebelum Indonesia benar-benar kehilangan industri TPT-nya dan hanya menjadi pasar bagi produk-produk tekstil asing.