Krisis ekonomi Pakistan semakin memburuk, terutama setelah kesepakatan pinjaman AS$7 miliar dengan Dana Moneter Internasional (IMF). Dalam perjanjian yang ditujukan untuk menyelamatkan ekonomi yang goyah, efek dari kenaikan harga energi dan keterbatasan akses pembiayaan telah membuat sektor tekstil negara itu dalam kondisi yang nyaris lumpuh.
Dua perkembangan utama ini semakin membebani pemerintah di Islamabad yang kini harus mencari solusi darurat agar perekonomian dapat stabil. Pilihan yang mungkin harus diambil adalah merundingkan kembali kesepakatan IMF atau memperkenalkan pajak tambahan, namun langkah ini berisiko besar bagi ekonomi serta masyarakat yang sudah bergantung pada mata pencaharian yang semakin sulit.
Situasi ini menjadi semakin kompleks karena upaya stabilisasi ekonomi melalui Dewan Fasilitasi Investasi Khusus (SIFC) gagal menarik investasi asing. Kemerosotan keamanan juga menambah ketidakpastian pada Koridor Ekonomi China-Pakistan (CPEC), salah satu proyek kerja sama terbesar dengan China yang kini berada dalam ancaman.
Dalam upayanya untuk mendapatkan pinjaman IMF, pemerintah Pakistan menerima sejumlah persyaratan ketat yang memengaruhi semua lapisan pemerintahan, termasuk tingkat provinsi. Laporan resmi kuartal pertama tahun ini menunjukkan bahwa Pakistan gagal memenuhi target utama seperti pengumpulan pajak dan surplus kas provinsi. Wakil Perdana Menteri Ishaq Dar bahkan menentang rezim nilai tukar yang ditentukan pasar, meskipun IMF mendorong devaluasi rupee yang sudah melemah.
Industri tekstil dan pakaian jadi merupakan sektor paling penting bagi perekonomian Pakistan, menyumbang 60 persen dari pendapatan ekspor negara dan mempekerjakan sekitar 40 persen tenaga kerja. Namun, biaya pasokan listrik yang tinggi, ketidakstabilan politik, kurangnya dukungan kebijakan, serta minimnya diversifikasi pasar dan produk menyebabkan ekspor pakaian jadi menurun drastis.
Seiring dengan krisis ekonomi yang berkelanjutan, sekitar 7 juta pekerja tekstil di Pakistan, termasuk ratusan ribu pekerja perempuan di Faisalabad, telah kehilangan pekerjaan. Bagi para pekerja perempuan ini, ancaman terbesar bukan hanya gaji yang terlambat atau kondisi kerja yang sulit, tetapi ketidakpastian akan hilangnya pekerjaan mereka selamanya. Mereka menghadapi kenyataan bahwa, tanpa perubahan besar, pekerjaan ini mungkin tidak akan pernah kembali, membawa dampak sosial yang mendalam di kota-kota industri seperti Faisalabad.
Sektor tekstil Pakistan masih memiliki potensi untuk pulih, namun hal ini hanya bisa terjadi jika ada dukungan kebijakan yang lebih kuat, inovasi dalam produk, dan akses yang lebih baik ke pasar global. Tanpa perubahan tersebut, sektor ini akan terus merosot, membawa dampak negatif bagi seluruh masyarakat Pakistan.