Industri tekstil nasional menyambut baik langkah Kementerian Keuangan dalam memberantas impor ilegal, sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto untuk mengoptimalkan pendapatan negara dari kegiatan ekonomi bayangan (shadow economy). Praktik impor ilegal dianggap sebagai salah satu penyebab utama menurunnya kinerja industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam satu dekade terakhir.

Dampak Impor Ilegal pada Industri Tekstil
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, mengungkapkan bahwa tren deindustrialisasi semakin nyata akibat maraknya impor ilegal. Hal ini diperburuk dengan pailitnya sejumlah perusahaan besar seperti Sritex dan penutupan pabrik tekstil lainnya, yang mengakibatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) ratusan ribu pekerja dalam dua tahun terakhir.

“Pemberantasan impor ilegal perlu dilakukan secara serius untuk menyelamatkan industri TPT nasional. Kami yakin Presiden Prabowo akan konsisten dalam upaya ini demi menciptakan birokrasi yang bersih,” ujar Redma.

Ia juga menyoroti pentingnya peran Menkopolhukam dalam mengatasi persoalan ini. Pemberantasan impor ilegal dinilai membutuhkan pendekatan komprehensif, termasuk membersihkan oknum aparat yang terlibat dalam praktik tersebut.

Tantangan dan Harapan
Direktur Eksekutif Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Rayon Tekstil, Agus Riyanto, menegaskan pentingnya konsistensi dalam pemberantasan impor ilegal. Menurutnya, indikator utama keberhasilan kebijakan ini terlihat dari data perdagangan internasional (trade map).

“Selama selisih perdagangan masih besar dan barang murah tanpa PPN membanjiri pasar domestik, berarti impor ilegal masih berlangsung,” ujarnya.

Agus juga meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk meningkatkan integritas aparat Bea Cukai dan memperbaiki sistem kepabeanan sebagai prioritas. Ia menilai masalah oversupply atau hambatan dagang yang disampaikan Menkeu bukanlah penyebab utama.

Fokus pada Kebijakan yang Mendukung Industri
Selain pemberantasan impor ilegal, Yayasan Konsumen Tekstil Indonesia (YKTI) mengkritik rencana pemerintah menaikkan PPN menjadi 12 persen. Direktur Eksekutif YKTI, Ardiman Pribadi, menjelaskan bahwa beban efektif PPN yang dirasakan konsumen akhir sudah mencapai 19,8 persen pada tarif 11 persen. Kenaikan menjadi 12 persen akan meningkatkan beban ini hingga 21,6 persen, yang dapat menurunkan konsumsi tekstil di tengah melemahnya daya beli masyarakat.

Ardiman menyarankan agar pemerintah lebih fokus pada upaya pemberantasan impor ilegal. Berdasarkan data lima tahun terakhir, potensi kehilangan penerimaan negara akibat impor ilegal mencapai Rp46 triliun. Langkah ini dinilai lebih efektif untuk meningkatkan penerimaan negara dibanding menaikkan PPN.


Pemberantasan impor ilegal menjadi solusi strategis untuk menyelamatkan industri tekstil nasional dari keterpurukan. Upaya ini membutuhkan dukungan supremasi hukum dan perbaikan sistem birokrasi yang konsisten. Dengan mengutamakan langkah ini, pemerintah tidak hanya melindungi pelaku industri, tetapi juga meringankan beban masyarakat sebagai konsumen akhir.