Rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025 mendapat penolakan dari kalangan pengusaha tekstil. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmadja, menilai kebijakan tersebut tidak relevan dengan kondisi saat ini, terutama di tengah ketidakpastian global yang masih berlangsung.

"PPN 12% sangat tidak tepat untuk diterapkan saat ini. Kita harus mempertimbangkan dampak luasnya terhadap industri dan masyarakat," ujar Jemmy dalam Forum Anggota Luar Biasa (ALB) Pra-Rapimnas Kadin 2024 di Jakarta, Sabtu (30/11/2024).

Menurut Jemmy, kenaikan PPN akan memberatkan pelaku usaha, khususnya di sektor tekstil yang tengah berjuang untuk bangkit setelah terpukul pandemi dan persaingan produk impor. Ia juga mengkritik rencana pemerintah memberikan bantuan sosial (bansos) sebagai kompensasi kenaikan PPN, dengan alasan efektivitasnya yang diragukan.

"BLT (bantuan langsung tunai) itu bukan solusi. Lebih baik tidak ada BLT, tapi PPN tidak dinaikkan menjadi 12%. BLT hanya bersifat sementara, dan setelahnya beban 12% tetap menjadi masalah besar," tegasnya.

Kebijakan Kenaikan PPN Berdasarkan UU HPP
Rencana kenaikan PPN menjadi 12% tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kebijakan ini dirumuskan tiga tahun lalu sebagai bagian dari reformasi perpajakan. Namun, dalam pelaksanaannya, rencana tersebut memunculkan berbagai polemik, terutama dari sektor usaha.

Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Indonesia, Luhut Binsar Pandjaitan, sebelumnya menyatakan bahwa pemerintah akan memberikan stimulus atau subsidi untuk meringankan beban masyarakat yang terdampak kenaikan PPN. Salah satu bentuk stimulus yang sedang dihitung adalah subsidi listrik bagi rumah tangga dengan daya tertentu.

"Stimulus listrik ini sedang dikalkulasi, mungkin diberikan kepada pengguna daya 1.300 Watt ke bawah atau rumah tangga yang menunggak pembayaran listrik selama 2-3 bulan," kata Luhut.

Ia juga menambahkan bahwa anggaran negara mencukupi untuk memberikan bansos atau subsidi, dengan tujuan mencegah kenaikan beban ekonomi masyarakat.

Dampak Kenaikan PPN pada Industri dan Konsumen
Penolakan dari pengusaha tekstil mencerminkan kekhawatiran yang lebih luas terhadap dampak kebijakan ini. Kenaikan PPN dinilai akan mengurangi daya beli masyarakat sekaligus meningkatkan biaya operasional bisnis, sehingga menekan keberlanjutan industri.

Sektor tekstil, yang telah berkontribusi besar pada lapangan kerja dan ekonomi nasional, disebut sedang menghadapi tekanan berat dari persaingan global serta lonjakan impor ilegal. Dengan tambahan beban PPN 12%, banyak pihak khawatir bahwa sektor ini akan semakin terpuruk.

Jemmy Kartiwa mengingatkan pemerintah agar kebijakan yang diambil tidak hanya mempertimbangkan aspek penerimaan negara, tetapi juga dampaknya terhadap keberlanjutan industri dan kesejahteraan masyarakat. "Kita perlu solusi yang lebih holistik, bukan kebijakan yang justru menambah beban," pungkasnya.