Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia kembali menghadapi tantangan serius dengan maraknya produk impor yang membanjiri pasar domestik. Meski kinerja industri tekstil menunjukkan sedikit perbaikan, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, menegaskan bahwa dominasi produk impor menghambat pemulihan industri dalam negeri secara nyata.
Pertumbuhan yang Belum Optimal
Pada kuartal III 2024, industri TPT mencatat pertumbuhan positif sebesar 7,43 persen setelah sebelumnya mengalami kontraksi selama enam kuartal berturut-turut. Namun, pertumbuhan ini dinilai belum cukup untuk memulihkan industri secara keseluruhan. Utilisasi kapasitas pabrik tekstil nasional saat ini masih rendah, hanya mencapai 45 persen.
Redma mengungkapkan bahwa konsumsi domestik masih lebih banyak mengandalkan produk impor, sehingga manfaatnya tidak dirasakan oleh pelaku industri lokal. Tanpa langkah konkret dari pemerintah, ia memperkirakan masalah ini akan berlanjut hingga 2025, terlebih dengan adanya potensi pengetatan impor di Amerika Serikat seiring terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden.
Perlu Gebrakan untuk Mengatasi Impor
Menghadapi situasi ini, Redma meminta pemerintah segera mengambil tindakan untuk mengatasi banjir impor. Dengan pasar ekspor yang semakin terpuruk, pelaku usaha tekstil sangat mengandalkan pasar domestik. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengatasi masalah seperti praktik dumping dan impor ilegal yang terus membanjiri pasar lokal.
Selain itu, pelaku industri juga telah mengusulkan insentif energi, termasuk pengurangan tarif listrik, untuk meringankan beban operasional mereka. Dukungan ini diharapkan dapat membantu industri tekstil meningkatkan daya saing dan produktivitas.
Peluang di Tengah Perang Dagang
Menurut Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi di The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho, Indonesia sebenarnya memiliki peluang untuk meningkatkan kinerja industrinya di tengah perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Tarif impor tinggi yang diterapkan AS terhadap produk tekstil dari China dan Vietnam dapat menjadi celah bagi Indonesia untuk memperluas pangsa pasarnya.
Namun, Andry menekankan bahwa pemerintah perlu mengambil langkah strategis agar dapat memanfaatkan peluang ini. Kebijakan stimulus seperti insentif energi dan penurunan biaya logistik menjadi hal yang mendesak untuk direalisasikan. Selain itu, pemerintah juga harus memperbaiki ekosistem pasar domestik agar produk lokal dapat bersaing dengan produk impor.
Harapan dan Langkah Strategis
Untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan, langkah-langkah berikut dinilai penting:
Pengetatan Pengawasan Impor: Menghapus impor ilegal dan menghentikan praktik dumping yang merugikan industri lokal.
Pemberian Insentif Energi: Menurunkan tarif listrik dan biaya operasional lainnya untuk meringankan beban pelaku usaha.
Pengembangan Pasar Domestik: Mendorong konsumsi produk lokal melalui kampanye nasional serta perlindungan pasar dari serbuan impor.
Peningkatan Efisiensi Logistik: Memangkas biaya logistik agar produk tekstil Indonesia lebih kompetitif di pasar internasional.
Industri tekstil memiliki potensi besar untuk menjadi salah satu pilar ekonomi nasional. Dengan kebijakan yang tepat dan dukungan pemerintah, tantangan ini dapat diubah menjadi peluang untuk kebangkitan industri tekstil Indonesia.