PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL), yang dikenal sebagai Sritex, kini resmi dinyatakan pailit setelah Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan perusahaan tersebut. Keputusan ini tertuang dalam putusan MA dengan nomor perkara 1345K/PDT.SUS-PAILIT/2024, yang diputuskan pada 18 Desember 2024. Dengan status ini, Sritex resmi mengalami kebangkrutan dan tidak lagi memiliki upaya hukum lanjutan.

Kasus ini bermula dari gugatan yang diajukan PT Indo Bharat Rayon (IBR), salah satu kreditor utama Sritex. IBR meminta pembatalan perdamaian yang telah disepakati dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) pada Januari 2022, serta menyeret tiga anak usaha Sritex—PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya—ke dalam perkara tersebut.

Dampak Operasional dan Pemutusan Hubungan Kerja

Sebelum putusan ini, Sritex sudah mengalami tekanan besar dalam operasionalnya. Perusahaan terpaksa 'merumahkan' 2.500 karyawannya akibat kesulitan memperoleh bahan baku yang disebabkan oleh pembatasan impor bahan baku oleh kurator dan pengadilan. "Kami menghadapi risiko pemutusan hubungan kerja jika izin impor bahan baku tidak segera diberikan," ujar Presiden Komisaris Sritex, Iwan S. Lukminto.

Selain itu, pengadilan juga memblokir rekening perusahaan, sehingga arus kas untuk transaksi impor bahan baku maupun ekspor produk menjadi terganggu. Kondisi ini memperburuk operasional perusahaan yang hanya mampu memproduksi untuk tiga minggu ke depan.

Beban Utang yang Menumpuk

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa hingga September 2024, Sritex memiliki utang sebesar Rp14,64 triliun, terdiri dari Rp14,42 triliun utang kepada 27 bank dan sisanya kepada tiga perusahaan pembiayaan. Beberapa kreditur besar termasuk PT Bank Central Asia Tbk, State Bank of India, dan PT Bank QNB Indonesia Tbk, dengan utang jangka panjang masing-masing mencapai puluhan juta dolar AS.

Meski demikian, OJK menyebut bahwa kondisi pencadangan kreditur masih dalam kategori aman. Bank telah memperhitungkan risiko kredit semacam ini, meskipun dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan tetap harus diawasi.

Perselisihan dengan Kurator

Iwan Lukminto juga menyampaikan keluhan terhadap kurator yang dianggap kurang profesional dalam menangani kasus ini. Menurutnya, kurator lebih fokus menyelesaikan proses pailit daripada menjaga keberlangsungan operasional perusahaan. "Kurator yang ditunjuk tampaknya kurang berpengalaman, sehingga prosesnya tidak mendukung kebutuhan perusahaan," ujarnya.

Masa Depan Industri Tekstil Indonesia

Kasus pailit Sritex menjadi gambaran tantangan berat yang dihadapi industri tekstil Indonesia. Beban utang, masalah bahan baku, dan persaingan dengan produk impor, terutama dari China, semakin menekan pelaku usaha. Pemerintah dan pihak terkait diharapkan dapat mengambil langkah strategis untuk menjaga keberlanjutan sektor tekstil, salah satu industri andalan perekonomian nasional.

Dengan berakhirnya perjalanan Sritex sebagai salah satu raksasa tekstil, masa depan industri tekstil Indonesia kini membutuhkan perhatian lebih, baik dari sisi regulasi, dukungan pembiayaan, maupun perlindungan terhadap pasar domestik.