Minat investor asing untuk mengembangkan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia masih tergolong rendah. Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menilai hal ini disebabkan oleh kondisi pasar yang belum stabil serta regulasi yang kurang mendukung. Wakil Ketua API, David Leonardi, menjelaskan bahwa investasi hanya akan efektif jika didukung oleh daya beli dan permintaan pasar yang kuat agar dapat memberikan dampak positif bagi industri dan negara. Namun, ia menyoroti bahwa saat ini kondisi pasar domestik dan global masih belum menunjukkan perbaikan yang signifikan.
Salah satu permasalahan yang dihadapi industri TPT nasional adalah kebijakan relaksasi impor yang tidak diimbangi dengan perlindungan pasar dalam negeri. Kebijakan ini memungkinkan masuknya produk jadi dalam jumlah besar ke pasar domestik, sehingga menyebabkan penurunan pesanan bagi industri dan pelaku usaha kecil menengah (IKM). Bahkan, pada periode Lebaran yang biasanya menjadi momentum peningkatan permintaan, industri tekstil tidak mengalami lonjakan pesanan yang signifikan.
Pemerintah berencana memberikan insentif revitalisasi mesin guna meningkatkan produktivitas industri padat karya. Melalui kebijakan ini, pemerintah akan menyediakan subsidi kredit investasi sebesar 5% bagi industri skala kecil dan menengah, termasuk sektor tekstil dan produk tekstil. Untuk mendukung kebijakan ini, anggaran sebesar Rp20 triliun telah disiapkan. Namun, David mengungkapkan kekhawatirannya bahwa insentif ini tidak akan berdampak maksimal apabila kondisi pasar belum membaik dan regulasi yang jelas belum diterapkan. Menurutnya, tanpa adanya kebijakan yang tegas, investor akan tetap enggan menanamkan modalnya di Indonesia.
Sementara itu, data dari Kementerian Perindustrian menunjukkan adanya peningkatan realisasi investasi di sektor tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki. Pada tahun 2024, nilai investasi sektor ini mencapai Rp39,21 triliun, naik 31,1% dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp29,92 triliun. Investasi di industri pakaian jadi bahkan mengalami lonjakan hingga 124,9%, dari Rp4,53 triliun pada tahun 2023 menjadi Rp10,20 triliun pada tahun 2024. Selain itu, pada kuartal I tahun 2025, terdapat empat industri tekstil dan pakaian jadi yang mendapatkan Surat Keterangan Usaha (SKU) dengan total investasi sebesar Rp304,43 miliar dan diperkirakan mampu menyerap 1.907 tenaga kerja.
Meskipun data tersebut menunjukkan peningkatan investasi, kondisi di lapangan masih memperlihatkan tantangan besar. Ketua Umum APSyFI, Redma Gita Wirawasta, menyampaikan bahwa banyak perusahaan tekstil yang terpaksa tutup akibat membanjirnya impor ilegal yang tidak dikendalikan secara ketat oleh pemerintah. Ia mencatat bahwa pada tahun 2024, sekitar 60 perusahaan di sektor hilir dan tengah industri tekstil telah berhenti beroperasi, yang mengakibatkan sekitar 250.000 pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Menurutnya, industri tekstil dan produk tekstil saat ini tengah menghadapi ancaman deindustrialisasi yang telah berlangsung selama satu dekade terakhir.
Dengan berbagai tantangan yang dihadapi, API mendorong pemerintah untuk lebih fokus dalam memperbaiki regulasi yang dapat memberikan perlindungan optimal bagi industri tekstil nasional. Perlindungan tersebut tidak hanya penting untuk menjaga rantai pasok industri, tetapi juga dalam menciptakan dampak positif bagi perekonomian, khususnya dalam penyerapan tenaga kerja. Jika kebijakan yang mendukung industri tekstil tidak segera diterapkan, maka investasi yang telah masuk pun berisiko tidak memberikan manfaat yang maksimal bagi pertumbuhan sektor ini di Indonesia.