Kebijakan tarif resiprokal yang diumumkan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menjadi pukulan berat bagi industri tekstil Indonesia. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menyampaikan kekhawatiran bahwa para investor asing akan memilih hengkang dari Indonesia dan memindahkan produksinya ke negara-negara seperti Bangladesh, India, atau Sri Lanka yang tidak terdampak tarif tinggi dari AS.

Tarif sebesar 32 persen yang dikenakan pada produk Indonesia yang masuk ke pasar AS membuat harga barang menjadi tidak kompetitif. Produk-produk seperti tekstil, sepatu, garmen, hingga elektronik menjadi lebih mahal di mata konsumen Amerika. Akibatnya, permintaan terhadap barang asal Indonesia diprediksi akan menurun drastis, sehingga membuat produksi dalam negeri ikut melemah.

Iqbal menjelaskan bahwa mayoritas perusahaan di sektor industri padat karya ini dimiliki oleh investor asing dari negara seperti Taiwan, Korea, dan Hongkong. Beberapa investor kemungkinan masih akan bertahan dengan strategi baru, yakni tetap memproduksi di Indonesia namun menggunakan merek dagang dari negara lain yang tidak terdampak tarif.

Ancaman ini bukan hanya soal hengkangnya investor, tetapi juga berdampak langsung pada nasib para buruh. KSPI memperkirakan sekitar 50 ribu buruh terancam mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam waktu tiga bulan sejak diberlakukannya tarif pada 9 April 2025. Gelombang PHK ini disebut sebagai badai kedua setelah sebelumnya industri tekstil sempat mengalami tekanan serupa di masa pandemi dan lesunya ekonomi global.

Naiknya ongkos produksi karena tarif impor membuat perusahaan di Indonesia dihadapkan pada dua pilihan sulit: melakukan efisiensi dengan mengurangi jumlah tenaga kerja atau menutup usaha secara permanen. Penurunan daya beli konsumen Amerika terhadap barang Indonesia menjadi penyebab utama, karena harga jual produk menjadi lebih tinggi, sehingga kurang diminati.

Situasi ini mencerminkan ketergantungan yang masih tinggi pada pasar ekspor, khususnya Amerika Serikat. Ketika kebijakan luar negeri negara tujuan berubah, industri dalam negeri yang belum cukup kuat bertumpu pada pasar lokal pun goyah. Jika tidak ada langkah antisipatif dan insentif yang mendukung iklim investasi, bukan tidak mungkin posisi Indonesia sebagai basis produksi di kawasan akan tergeser oleh negara tetangga dengan iklim tarif yang lebih bersahabat.