Penerapan tarif impor baru oleh Amerika Serikat berpotensi membuat Indonesia kebanjiran produk tekstil dari berbagai negara. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, menyatakan bahwa Indonesia bisa menjadi sasaran utama bagi negara-negara yang mengalami kelebihan produksi akibat terhambatnya ekspor ke Amerika.
Dengan pemberlakuan tarif dasar 10 persen dan tarif resiprokal, harga barang yang masuk ke Amerika meningkat, menyebabkan turunnya daya beli masyarakat di sana. Hal ini berdampak pada kelebihan pasokan produk tekstil dan produk tekstil (TPT), yang kemudian mencari pasar alternatif. Indonesia, dengan populasi besar dan tingkat konsumsi yang tinggi, berisiko menjadi tempat pembuangan produk-produk tersebut.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, menambahkan bahwa beberapa negara selain Indonesia juga mengalami hambatan perdagangan serupa. Cina dikenakan tarif 34 persen, Vietnam 46 persen, dan Bangladesh 34 persen. Dengan terbatasnya akses ke pasar AS, negara-negara ini kemungkinan besar akan mengalihkan ekspornya ke Indonesia.
Melihat kondisi ini, API dan APSyFI meminta pemerintah untuk tidak melonggarkan kebijakan impor, karena hal tersebut justru akan semakin melemahkan industri tekstil nasional. Jika impor tidak dikendalikan, ekspor akan semakin tertekan, sementara produk impor terus membanjiri pasar domestik, yang dapat memperburuk kondisi industri dalam negeri. Oleh karena itu, kedua asosiasi ini mendesak pemerintah untuk segera merumuskan kebijakan perlindungan terhadap industri TPT nasional agar tidak kalah bersaing dengan produk impor.
Dampak kebijakan tarif AS juga berpotensi memperburuk neraca perdagangan Indonesia. Pengamat pasar modal dari Kiwoom Sekuritas, Oktavianus Audi, mengungkapkan bahwa surplus perdagangan Indonesia pada 2024 telah mengalami penurunan signifikan, yakni sebesar 18,84 persen secara tahunan, mencapai titik terendah dalam empat tahun terakhir. Surplus perdagangan nonmigas Indonesia terhadap AS mencapai US$ 16,84 miliar, atau sekitar 54 persen dari total surplus perdagangan nasional pada 2024.
Dengan meningkatnya tarif impor, sektor tekstil, alas kaki, dan produk manufaktur lainnya akan mengalami tekanan, yang berpotensi menurunkan nilai ekspor dan semakin mempersempit surplus perdagangan. Selain itu, peningkatan suplai produk manufaktur dari negara-negara seperti Cina dan Vietnam yang mencari pasar alternatif dapat memperburuk situasi bagi industri dalam negeri.
Kondisi ini juga berdampak pada nilai tukar rupiah, yang semakin tertekan akibat berkurangnya devisa dari sektor ekspor. Untuk mengatasi ancaman ini, pemerintah perlu segera mengambil langkah mitigasi, seperti mempercepat diversifikasi pasar ekspor dengan memanfaatkan perjanjian dagang bebas (FTA) dengan negara-negara Asia, Timur Tengah, dan Eropa. Selain itu, insentif bagi industri lokal juga perlu diberikan untuk meningkatkan daya saing, serta mempercepat hilirisasi industri guna menciptakan nilai tambah bagi produk ekspor Indonesia.