Momentum Lebaran yang biasanya menjadi penggerak utama konsumsi nasional gagal mengangkat performa sektor sandang dan pangan pada tahun ini. Alih-alih mendapat dorongan permintaan seperti tahun-tahun sebelumnya, para pelaku usaha justru menghadapi kontraksi berkepanjangan bahkan setelah Ramadan usai. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran mendalam terhadap kelangsungan usaha hingga akhir tahun.
Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi S. Lukman, menyebut suasana pasca-Lebaran kali ini jauh dari ekspektasi. Menurutnya, tidak ada kegembiraan di kalangan pelaku industri, kontras dengan biasanya di mana hari raya menjadi momen panen. Ia menggambarkan kondisi ini dengan pernyataan yang lugas, “Lebaran kali ini kita sulit tersenyum. Seolah-olah tidak ada Lebaran.”
Adhi menyoroti jeda panjang antara momen konsumsi besar, dari akhir tahun hingga Lebaran, yang kini diperpanjang lagi oleh minimnya prospek perayaan nasional hingga kuartal keempat. Hal ini, menurutnya, menggerus arus kas dan memperpanjang tekanan terhadap kinerja pelaku industri. Ia memperingatkan bahwa tanpa kebijakan stimulus dari pemerintah untuk mengerek daya beli masyarakat, potensi koreksi terhadap pertumbuhan ekonomi semakin besar.
Tak hanya sektor makanan dan minuman, tekanan yang lebih dalam juga dirasakan oleh industri sandang. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, menilai kondisi saat ini bahkan lebih berat dibandingkan dengan era krisis 1990-an. Ia mengkritisi kebijakan pelonggaran impor yang dinilai tidak selektif, membuka jalan masuknya barang murah dari luar negeri dan mengancam eksistensi industri tekstil domestik.
Menurut Jemmy, apabila barang-barang dari luar negeri terus masuk tanpa kontrol ketat, harga pasar dalam negeri akan terganggu dan pelaku industri lokal semakin tertekan. Lebih dari itu, situasi ini dapat memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) karena perusahaan tidak mampu bertahan di tengah persaingan yang tidak seimbang.
Polemik tersebut mengarah pada revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 yang mengatur kebijakan impor. Pemerintah tengah mempertimbangkan untuk menata ulang delapan sektor terdampak, termasuk tekstil. Presiden Prabowo Subianto telah menyatakan komitmennya bahwa setiap kebijakan harus berpihak pada kepentingan nasional dan rakyat banyak. Wacana pencabutan Permendag 8 menjadi salah satu langkah yang sedang dikaji, mengingat aturan ini diduga turut memicu gejolak ketenagakerjaan di sejumlah sektor.
Di tengah tekanan global dan ketidakpastian kebijakan, pelaku industri berharap agar pemerintah segera mengambil langkah strategis untuk menjaga keberlangsungan sektor sandang dan pangan, yang menjadi pilar penting ekonomi nasional. Tanpa dukungan konkret, sektor-sektor ini terancam semakin terpuruk dalam waktu dekat.