Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan pentingnya peran sektor jasa keuangan, terutama perbankan, dalam memperkuat pembiayaan industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Hal ini disampaikan oleh Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, dalam acara konsinyering bersama kementerian dan pelaku industri TPT yang digelar di Jakarta pada Jumat, 16 Mei 2025.

Dian menyampaikan bahwa sinergi antara industri perbankan dan pelaku industri TPT harus diperkuat agar penyaluran pembiayaan dapat lebih tepat sasaran serta mendukung pertumbuhan sektor riil secara berkelanjutan. Ia juga menekankan bahwa perluasan akses pembiayaan harus sejalan dengan penguatan manajemen risiko dan penerapan prinsip kehati-hatian dalam praktik perbankan.

Data OJK menunjukkan bahwa hingga Maret 2025, kredit yang disalurkan kepada industri TPT dan alas kaki mencapai Rp160,41 triliun, atau setara 2,03 persen dari total kredit perbankan nasional. Sementara itu, industri TPT mencatatkan pertumbuhan sebesar 4,64 persen secara tahunan pada periode yang sama, dengan kontribusi 1,02 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.

Dian melihat potensi besar pada industri TPT nasional, baik dari sisi pasar domestik maupun ekspor. Namun, ia juga menggarisbawahi tantangan struktural yang masih membayangi, seperti tingginya biaya logistik dan ketergantungan pada pasar ekspor tertentu. Untuk itu, ia mengusulkan pendekatan kolaboratif melalui konsep Indonesia Incorporated, yakni sinergi nyata antara pelaku industri, perbankan, BUMN, dan pemerintah guna mengatasi hambatan tersebut secara komprehensif.

Di sisi lain, kondisi industri tekstil saat ini sedang mengalami tekanan, terutama akibat kebijakan tarif impor yang diberlakukan Amerika Serikat. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia, Redma Gita Wiraswasta, menyatakan bahwa ekspor menjadi semakin sulit, sementara pasar domestik juga belum memberikan kepastian yang menggembirakan.

Redma juga menyoroti penurunan dua indikator penting, yaitu Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia dan Indeks Kepercayaan Industri (IKI). Pada April 2025, PMI manufaktur turun ke level 46,7 yang menandakan zona kontraksi, sedangkan IKI berada di angka 51,9 persen. Menurutnya, kondisi ini menambah beban bagi industri tekstil nasional, yang kini menghadapi tantangan dari sisi permintaan dan tekanan pasar secara bersamaan.