Perhatian terhadap perkembangan industri tekstil nasional yang sarat akan tenaga kerja kembali ditegaskan melalui kunjungan lapangan oleh Komisi XI DPR RI ke sejumlah perusahaan tekstil hilir di Kabupaten Bandung dan Jawa Barat, Jumat, 16 Mei 2025. Dalam kunjungan ini, anggota Komisi XI, Mohamad Hekal, menegaskan pentingnya melihat langsung kondisi industri padat karya yang kini tengah menghadapi tekanan berat akibat berbagai tantangan eksternal dan internal.

Data Kementerian Perindustrian mencatat bahwa pada 2024 industri tekstil menyerap 957.122 tenaga kerja, sementara industri pakaian menampung hingga 2.916.005 orang. Sayangnya, angka ini mengalami penurunan masing-masing sebesar 7,5 persen dan 0,85 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Hekal menyampaikan bahwa penurunan ini menjadi alarm penting bagi pemerintah untuk segera bertindak menyelamatkan industri yang selama ini menjadi salah satu penopang perekonomian nasional.

Menurut Hekal, tekanan terhadap industri tekstil semakin besar akibat kebijakan tarif impor dan perang dagang yang dilakukan oleh Amerika Serikat. Peningkatan tarif yang signifikan membuat ekspor tekstil Indonesia terhambat, sementara di sisi lain, sektor ini juga telah lama dihantui berbagai hambatan struktural seperti ketersediaan bahan baku yang tidak stabil, harga bahan yang tinggi, serta masuknya produk pakaian jadi impor ke pasar domestik.

Ia menekankan perlunya pemerintah melakukan evaluasi serius terhadap regulasi dan kebijakan yang berlaku agar pelaku usaha, khususnya sektor menengah dan kecil seperti garmen, konveksi, serta tekstil rumah tangga, tidak semakin tertekan dan berujung pada pemutusan hubungan kerja massal atau kebangkrutan. Potensi dalam negeri yang sangat besar harus dimanfaatkan sebaik-baiknya agar industri padat karya ini bisa bangkit kembali.

Lebih lanjut, Hekal menyatakan bahwa komitmen Presiden dalam menghidupkan kembali industri padat karya termasuk tekstil harus diikuti oleh langkah konkret baik dari pemerintah maupun DPR. Melalui kunjungan ini, pihak legislatif ingin memastikan apa saja yang harus dilakukan untuk melindungi kelompok industri yang menyerap jutaan tenaga kerja, sekaligus mendorong pertumbuhannya agar bisa menjadi pilar utama perekonomian nasional.

Di sisi lain, peran Bea dan Cukai juga mendapat sorotan dalam upaya melindungi pasar tekstil domestik. Hekal menyebut pihaknya telah meminta jajaran Bea Cukai untuk menjaga pintu-pintu masuk Indonesia dari produk tekstil ilegal yang selama ini kerap membanjiri pasar dalam negeri. Ia menegaskan bahwa keberadaan produk ilegal menjadi salah satu penyebab utama lesunya pasar tekstil lokal dan tutupnya sejumlah usaha kecil.

Komitmen dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pun disampaikan secara langsung oleh Direktur Fasilitas Kepabeanan, Padmoyo Tri Wikanto, yang menyatakan siap mendukung pertumbuhan industri tekstil nasional dengan menjaga integritas kebijakan dan pengawasan pintu masuk barang. Hal serupa juga ditegaskan oleh Kepala Kantor Wilayah Bea dan Cukai Jawa Barat, Finari Manan, yang menyatakan bahwa pihaknya telah menyaksikan secara langsung pentingnya peran industri ini dalam menciptakan lapangan kerja di Jawa Barat.

Melihat potensi pasar dalam negeri yang besar dengan jumlah penduduk hampir mencapai 300 juta jiwa, industri tekstil sebenarnya memiliki peluang besar untuk tumbuh dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Dengan dukungan kebijakan yang tepat dan keberpihakan nyata terhadap pelaku usaha dalam negeri, industri tekstil Indonesia diharapkan mampu bangkit dari tekanan dan kembali menjadi motor penggerak ekonomi nasional.