Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia terus memperjuangkan akses terhadap harga gas bumi tertentu (HGBT) atau gas murah untuk menjaga keberlangsungan dan daya saing di tengah tekanan berat dari produk impor dan tren global menuju energi hijau. Hingga kini, regulasi Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2020 baru menetapkan tujuh sektor industri sebagai penerima HGBT, yaitu pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet. Padahal, industri TPT juga merupakan sektor padat karya yang sangat bergantung pada gas sebagai sumber energi utama.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, mengungkapkan bahwa pengajuan dari industri tekstil untuk mendapatkan HGBT belum memperoleh persetujuan dari pemerintah. Meskipun sebagian industri hulu yang memproduksi bahan baku seperti polimer telah menerima HGBT, manfaatnya belum dirasakan secara maksimal karena keterbatasan dalam alokasi gas, yaitu hanya sekitar 60 persen dari kontrak, sedangkan sisanya masih dikenakan harga normal yang jauh lebih tinggi. Bahkan, sebagian industri harus membeli gas dengan harga regasifikasi sebesar US$17 per MMbtu, dibandingkan dengan HGBT sebesar US$7 per MMbtu.

APSyFI mendorong agar HGBT bisa diberikan penuh 100 persen sesuai kontrak, guna meningkatkan efisiensi produksi dan mengurangi biaya energi yang selama ini menjadi salah satu beban terbesar industri tekstil. Biaya tinggi ini diperparah dengan masuknya produk tekstil impor murah yang semakin agresif di pasar domestik. Tanpa efisiensi biaya energi, produk tekstil dalam negeri sulit bersaing baik dari segi harga maupun keberlanjutan.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwan, menekankan pentingnya pembangunan infrastruktur gas bumi, khususnya sambungan pipa gas ke wilayah sentra industri tekstil seperti Bandung Raya dan Solo Raya. Ia menyayangkan bahwa meskipun Indonesia memiliki cadangan gas yang melimpah, distribusinya masih belum menjangkau pusat-pusat industri TPT, sehingga pelaku industri tidak dapat memanfaatkan potensi energi bersih tersebut.

API juga mencatat bahwa Indonesia tergolong sebagai negara dengan harga gas yang relatif tinggi dibandingkan negara-negara pesaing utama di industri tekstil seperti Bangladesh, Vietnam, dan Malaysia. Negara-negara tersebut telah menikmati harga gas yang lebih rendah, sehingga mereka mampu memproduksi barang dengan biaya lebih murah dan menjadi lebih kompetitif di pasar global.

Kondisi ini memperkuat urgensi pemerintah untuk segera merevisi kebijakan HGBT agar mencakup sektor tekstil dan mempercepat pembangunan infrastruktur distribusi gas bumi. Langkah ini bukan hanya untuk menyelamatkan industri TPT dari tekanan impor, tetapi juga sebagai bagian dari transformasi energi menuju produksi yang lebih hijau dan berkelanjutan.