Keputusan Menteri Perdagangan Budi Santoso untuk membatalkan pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) terhadap dua bahan baku tekstil asal Cina, yakni partially oriented yarn (POY) dan drawn textured yarn (DTY), memunculkan pro dan kontra di kalangan industri. Langkah ini berujung pada batalnya potensi investasi sebesar US$ 250 juta atau sekitar Rp4,2 triliun di sektor hulu tekstil nasional.

Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) sebelumnya telah merekomendasikan tarif BMAD antara 5,12% hingga 42,3% untuk kedua jenis bahan baku tersebut. Namun, Budi menilai pengenaan tarif justru akan membebani sektor hilir, khususnya industri garmen, dengan kenaikan biaya produksi yang signifikan. Ia menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara perlindungan industri hulu dan kebutuhan akan bahan baku kompetitif bagi pelaku usaha hilir, demi mempertahankan daya saing nasional.

POY dan DTY merupakan turunan dari polyester yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan benang dan kain. Namun, kapasitas industri hulu dalam negeri disebut belum mampu memenuhi kebutuhan sektor hilir secara optimal. Banyak produsen di sektor hulu masih memprioritaskan produksi untuk kebutuhan internal, bukan untuk dijual ke pasar terbuka.

Dalam situasi global yang penuh tekanan, baik akibat ketegangan geoekonomi maupun tarif tinggi dari negara-negara mitra dagang seperti Amerika Serikat, kinerja industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia terus mengalami penurunan. Kontribusi sektor ini terhadap PDB menurun dari 1,3% pada 2019 menjadi 1,1% pada 2023.

Dampak langsung dari pembatalan BMAD adalah surutnya minat investor untuk masuk ke sektor hulu. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Wirawasta, menyayangkan keputusan pemerintah dan menyebut bahwa sejumlah calon investor kini menarik diri. Salah satu proyek besar yang dinilai terancam adalah pembangunan pabrik monoethylene glycol (MEG) oleh PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia (PRPP), yang ditaksir bernilai hingga US$ 18 miliar dan dijadwalkan beroperasi pada 2030.

Sebaliknya, keputusan pemerintah disambut baik oleh pelaku industri hilir. Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Andrew Purnama, menilai bahwa penerapan BMAD akan berdampak buruk terhadap struktur biaya produksi benang dan garmen karena bahan baku berkontribusi sekitar 70% dari harga akhir. Ia menilai bahwa kebijakan pemerintah sudah sejalan dengan kebutuhan sektor hilir dan mendukung integrasi rantai pasok nasional secara menyeluruh.

Meski belum ada titik temu antara pelaku industri hulu dan hilir, langkah pemerintah dianggap sebagai upaya kompromi dalam menjaga kelangsungan industri tekstil nasional di tengah persaingan global yang semakin ketat.