Aturan baru impor tekstil yang tertuang dalam Permendag No. 17 Tahun 2025 disambut dengan beragam tanggapan dari pelaku industri. Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menilai kebijakan ini membawa angin segar bagi produsen dalam negeri sekaligus menimbulkan tantangan baru, terutama dari sisi pelaksanaan di lapangan.

Wakil Ketua API, David Leonardo, menguraikan lima poin positif dari regulasi baru ini. Pertama, kewajiban memiliki perizinan impor (PI) sebelum produk masuk ke wilayah pabean menjadi langkah penting dalam mencegah praktik impor tanpa pengawasan dan memberi perlindungan terhadap industri tekstil nasional. Kedua, kewajiban verifikasi teknis diyakini dapat menjamin kesesuaian spesifikasi dan kuantitas produk impor, serta menekan praktik under-invoice dan kesalahan deklarasi.

Ketiga, kewenangan menteri dalam menentukan pelabuhan pemasukan barang impor dianggap akan memperkuat pengawasan di titik-titik tertentu yang bisa diawasi secara lebih efisien oleh bea cukai. Keempat, skema pengecualian di kawasan perdagangan bebas, kawasan ekonomi khusus, dan tempat penimbunan berikat dinilai memberikan fleksibilitas bagi industri berorientasi ekspor. Kelima, kewajiban pelaporan realisasi impor serta sanksi administratif akan mendorong kedisiplinan dalam tata kelola impor melalui mekanisme post-audit.

Namun, aturan ini juga membawa konsekuensi yang cukup signifikan, khususnya bagi pelaku usaha kecil dan menengah. Beban administratif yang tinggi menjadi sorotan utama karena setiap pengiriman membutuhkan PI dan laporan surveyor, yang berarti penambahan waktu dan biaya. Pembatasan pelabuhan tujuan juga berdampak pada peningkatan biaya logistik akibat kebutuhan trans-shipment bagi importir di luar pelabuhan yang ditunjuk.

Selain itu, masa berlaku PI yang pendek dan hanya bisa diperpanjang satu kali menimbulkan persoalan tersendiri bagi kontrak pasokan jangka panjang. David juga mencatat bahwa aturan pengecualian yang tertuang dalam lampiran-lampiran regulasi dinilai rumit dan rentan menimbulkan salah tafsir di kalangan importir. Terakhir, ancaman sanksi administratif yang berlaku bahkan untuk kesalahan kecil, seperti keterlambatan pelaporan, bisa menjadi beban psikologis dan operasional bagi pelaku usaha.

Secara keseluruhan, aturan baru ini mencerminkan upaya pemerintah dalam menyeimbangkan perlindungan industri dalam negeri dengan kebutuhan pengawasan terhadap impor. Namun, tantangan dalam implementasi, terutama bagi pelaku usaha kecil, membutuhkan penyesuaian dan mungkin perlu disertai sosialisasi lebih lanjut serta perbaikan teknis dalam pelaksanaannya agar tujuan regulasi benar-benar tercapai tanpa menghambat kegiatan usaha yang sah.