Menjelang diberlakukannya tarif baru oleh Amerika Serikat terhadap produk asal China pada 9 Juli 2025, Indonesia mengalami lonjakan impor sejumlah komoditas dari negara tersebut. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkap peningkatan signifikan pada impor tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki, dan produk agro China yang masuk ke pasar domestik dalam beberapa bulan terakhir.

Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza menyatakan bahwa perang dagang antara AS dan China berpotensi memicu pengalihan pasar perdagangan atau trade diversion, yang turut berdampak pada Indonesia. Sektor strategis seperti tekstil, alas kaki, dan agro kini menjadi sorotan karena kontribusinya yang besar terhadap ekspor manufaktur nasional.

Faisol mengingatkan bahwa Amerika Serikat merupakan pasar utama ekspor TPT dan alas kaki Indonesia. Pada tahun 2024, sekitar 40,6% ekspor TPT dan 34,2% ekspor alas kaki Indonesia dikirim ke AS. Sebagian besar produk yang diekspor berupa pakaian jadi, yang dikenal sebagai industri padat karya dan banyak menyerap tenaga kerja. Namun, posisi dominan ini dinilai rentan terhadap dinamika global, termasuk ketegangan geopolitik dan kebijakan tarif antarnegara.

Di sisi lain, penurunan pangsa pasar China di AS membuka ruang kekhawatiran akan praktik dumping. Data menunjukkan bahwa pada 2020, pangsa produk TPT China di pasar AS masih mencapai 38,4%, namun turun menjadi 25,6% pada 2024. Penurunan serupa terjadi pada produk alas kaki, dari 42% menjadi 36,1% dalam periode yang sama. Penurunan ini diyakini mendorong produsen China untuk mengalihkan barang ke negara lain, termasuk Indonesia.

Peningkatan nilai impor memperkuat kekhawatiran tersebut. Dari Januari hingga April 2025, impor TPT dari China ke Indonesia naik 8,84%, sementara impor alas kaki melonjak 30,89%. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor produk tekstil dari China tercatat sebesar US$834 juta, melonjak tajam dari US$309,7 juta pada periode yang sama tahun lalu. Untuk produk alas kaki, nilai impor mencapai US$199,4 juta, naik dari US$152,36 juta.

Tak hanya sektor tekstil dan alas kaki, industri agro juga menunjukkan tren serupa. Ketika ekspor produk agro China ke AS turun US$1,17 miliar atau sekitar 7%, Indonesia justru mencatat lonjakan impor dari sektor tersebut sebesar 30% atau senilai US$477.000. Beberapa komoditas yang mengalami kenaikan signifikan antara lain limbah industri makanan dan pakan ternak (HS23), ikan dan krustasea (HS03), serta kakao dan olahannya (HS18). Kenaikan tertinggi terjadi pada produk perikanan yang meningkat hingga 105,4%.

Faisol menilai fenomena ini sebagai sinyal penting bagi pemerintah dan pelaku industri nasional untuk lebih cermat mengantisipasi dampak jangka panjang dari trade diversion. Di saat yang sama, peluang ekspor juga tetap terbuka, sehingga perlu langkah strategis untuk melindungi pasar domestik tanpa mengabaikan potensi perluasan pasar global.