Penerapan tarif impor sebesar 32% oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap produk Indonesia mulai Agustus 2025 menimbulkan kekhawatiran besar bagi sejumlah emiten yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), khususnya yang memiliki eksposur tinggi ke pasar AS. Dalam riset bertajuk “Tarif Trump 32%: Strategi Indonesia Hadapi Proteksionisme AS”, Head of Equity Research Liza Camelia memaparkan bahwa ada 14 saham yang terdampak signifikan oleh kebijakan tersebut.

Sektor tekstil dan garmen menjadi salah satu yang paling rentan. Emiten seperti PT Trisula Textile Industries Tbk. (BELL) dan PT Eratex Djaja Tbk. (ERTX) disebut memiliki eksposur ekspor ke AS sebesar 20%–30%, dan berpotensi mengalami penurunan laba bersih hingga 15%. Hal ini dipicu oleh kekhawatiran bahwa posisi Indonesia sebagai eksportir tekstil akan tergantikan oleh Vietnam yang hanya dikenakan tarif 20%.

Kondisi serupa juga menghantui PT Tifico Fiber Indonesia Tbk. (TFCO) dan PT Asia Pacific Fibers Tbk. (POLY), yang penjualannya ke AS mencapai 30% dari total ekspor. Kedua perusahaan diprediksi mengalami penurunan pendapatan antara 20%–30%. Liza menegaskan bahwa jika Indonesia tak segera mengambil langkah strategis, pangsa pasar ekspor bisa menyusut drastis.

Di sektor makanan dan minuman, PT Mayora Indah Tbk. (MYOR) dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. (ICBP) juga masuk dalam radar risiko. MYOR memiliki eksposur ekspor ke AS sekitar 20%, sementara ICBP sebesar 15%. Dengan segmen pasar yang sensitif terhadap harga, tarif tinggi berisiko menurunkan volume penjualan keduanya.

Sementara itu, sektor agribisnis seperti PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk. (CPIN) dan PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk. (JPFA) juga tak luput dari dampak meski ekspor langsung ke AS relatif kecil. Efek tarif dianggap akan memengaruhi rantai pasok secara lebih luas, khususnya pada produk unggas olahan bernilai tambah.

Emiten di sektor kesehatan seperti PT Sido Muncul Tbk. (SIDO) dan PT Kalbe Farma Tbk. (KLBF) juga terimbas. Meskipun kontribusi ekspor ke AS masih di bawah 10%, hambatan tarif bisa menahan laju ekspansi mereka di pasar diaspora Indonesia di AS, dan menurunkan pertumbuhan ekspor tahunan di bawah 5%.

Tak kalah penting, sektor pertambangan dan energi juga menghadapi tekanan, terutama bagi perusahaan yang terlibat dalam rantai pasok baterai kendaraan listrik (EV). Emiten seperti PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM), PT Trimegah Bangun Persada Tbk. (NCKL), PT Vale Indonesia Tbk. (INCO), dan PT Merdeka Battery Materials Tbk. (MBMA) dikhawatirkan akan kehilangan mitra bisnis di AS akibat potensi pengalihan rantai pasok ke negara non-BRICS.

Untuk menghadapi ancaman ini, Liza menyarankan beberapa strategi mitigasi, antara lain diversifikasi pasar ekspor ke luar AS, membangun pabrik di negara lain, serta menjalin kemitraan strategis dengan perusahaan besar AS seperti Tesla dan Ford. Langkah-langkah tersebut diharapkan dapat menjaga stabilitas kinerja emiten dan mempertahankan pangsa pasar global.

Meskipun berbagai sektor dibayangi risiko, Kiwoom Sekuritas tetap mempertahankan proyeksi indeks harga saham gabungan (IHSG) di level konservatif 7.200–7.300 hingga akhir 2025. Proyeksi ini mencerminkan optimisme hati-hati di tengah meningkatnya ketegangan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat.