Industri tekstil Indonesia tengah menghadapi ancaman serius menyusul keputusan pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk memberlakukan tarif impor sebesar 32% mulai 1 Agustus 2025. Keputusan ini dinilai akan berdampak signifikan, mengingat sekitar 60%-70% ekspor tekstil Indonesia selama ini sangat bergantung pada pasar AS.

Menurut Peneliti Ekonomi CSIS Indonesia, Riandy Laksono, kondisi ini merupakan pukulan berat bagi sektor tekstil nasional. Namun, ia juga menekankan bahwa peluang masih terbuka jika Indonesia mampu mengalihkan ekspor ke pasar lain, khususnya Eropa. Meskipun tidak mudah, Eropa dinilai sebagai alternatif paling realistis karena merupakan salah satu konsumen terbesar produk tekstil dunia.

Riandy menjelaskan bahwa karakter perdagangan dengan negara maju seperti Eropa sebetulnya sudah sesuai dengan kekuatan masing-masing negara. Indonesia, sebagai negara dengan keunggulan padat karya, dapat memasok kebutuhan tekstil, sementara negara-negara Eropa mengekspor produk berbasis teknologi tinggi dan padat modal. Oleh karena itu, membangun kerja sama perdagangan bebas (FTA) dengan Eropa menjadi langkah strategis untuk mempertahankan performa ekspor nasional.

Ancaman lain yang perlu diwaspadai adalah praktik transshipment, yakni upaya eksportir China mengalihkan jalur pengiriman barang ke AS melalui negara Asia Tenggara guna menghindari bea masuk tinggi. Praktik ini berpotensi menambah tekanan pada industri tekstil dalam negeri, terutama jika tidak disertai upaya negosiasi dagang yang agresif ke kawasan lain seperti Eropa.

Data ekspor menunjukkan betapa pentingnya pasar AS bagi industri tekstil Indonesia. Sepanjang Januari-April 2025, ekspor barang tekstil ke AS tercatat sebesar US$ 25,51 juta. Produk pakaian jadi menyumbang nilai ekspor terbesar mencapai US$ 1,27 miliar, diikuti pakaian rajutan senilai US$ 205,85 juta. Selain tekstil, produk sepatu olahraga juga menjadi andalan dengan nilai ekspor mencapai US$ 524,84 juta, serta alas kaki harian senilai US$ 312,83 juta, semuanya dengan AS sebagai pasar utama.

Situasi ini menunjukkan urgensi bagi pemerintah dan pelaku industri untuk segera mengalihkan fokus ekspor, membangun kerja sama perdagangan baru, serta memperkuat daya saing produk agar industri tekstil Indonesia tetap bertahan dan berkembang di tengah dinamika global yang kian kompleks.