Penurunan tarif resiprokal Amerika Serikat terhadap produk Indonesia dari 32% menjadi 19% menjadi kabar baik bagi industri tekstil dan alas kaki nasional. Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno menyatakan bahwa penurunan ini memberikan napas lega bagi para pelaku industri, terutama karena angka tersebut merupakan yang terendah di antara negara-negara ASEAN yang juga terkena kebijakan serupa dari Presiden AS saat itu, Donald Trump.
Dengan penurunan tarif ini, produk tekstil dan sepatu asal Indonesia yang masuk pasar AS tidak lagi terbebani bea masuk yang terlalu tinggi. Arif menyebut bahwa kondisi ini sangat membantu dalam menekan potensi kerugian dan mencegah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor tersebut. Ia mencontohkan, jika biaya produksi sepasang sepatu dari Indonesia berkisar US$20, meskipun terkena tarif tambahan 19%, produk itu masih bisa dipasarkan hingga US$150. Hal ini menunjukkan margin keuntungan masih masuk akal bagi pengusaha.
Sikap positif juga datang dari Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI). Ketua Umumnya, Redma Gita Wirawasta, menyampaikan apresiasi terhadap keberhasilan negosiasi pemerintah. Meski bea 19% masih tergolong tinggi, pihaknya menilai ini cukup kompetitif, terutama jika dibandingkan dengan tarif terhadap Bangladesh yang masih mencapai 35%.
Redma menambahkan, untuk sektor hilir tekstil seperti garmen dan alas kaki, tarif ini cukup memberikan peluang untuk bersaing di pasar global, khususnya di AS. Sementara itu, sektor hulu juga mendapatkan manfaat karena produk-produk mereka dikenakan tarif lebih rendah dibandingkan produk asal Korea Selatan yang mencapai 25%. Namun demikian, pelaku industri masih menunggu kejelasan tarif yang diberlakukan untuk produk asal China sebagai salah satu pesaing terbesar.
Secara keseluruhan, penyesuaian tarif ini diharapkan dapat menjaga stabilitas ekspor produk tekstil dan alas kaki Indonesia ke AS. Meskipun belum ideal, langkah ini menjadi harapan baru bagi keberlanjutan industri padat karya tersebut di tengah persaingan global yang semakin ketat.