Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia tengah menikmati angin segar berkat keberhasilan diplomasi ekonomi pemerintah dalam memperluas akses pasar ke Amerika Serikat dan Eropa. Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyambut baik keberhasilan negosiasi dengan Amerika Serikat yang menurunkan tarif bea masuk produk TPT Indonesia dari 32% menjadi 19%. Kebijakan ini dipandang sebagai terobosan penting dalam meningkatkan daya saing produk dalam negeri di pasar internasional, khususnya Amerika Serikat yang selama ini menjadi mitra dagang strategis.

Ketua Umum API, Jemmy Kartiwa, menyatakan bahwa penurunan tarif ini akan memperkuat posisi Indonesia sebagai eksportir TPT di pasar global. Pada tahun 2024, ekspor TPT ke Amerika Serikat mencapai pangsa pasar sebesar 40,6%, sementara produk alas kaki sebesar 34,2%. Artinya, hampir setengah ekspor TPT dan sepertiga ekspor alas kaki Indonesia sangat bergantung pada permintaan dari negeri Paman Sam.

API berharap pemerintah terus aktif memperkuat hubungan dagang bilateral dengan AS, melalui penguatan misi dagang, logistik, promosi terintegrasi, serta pemberian insentif fiskal dan non-fiskal. Selain itu, Jemmy menekankan pentingnya harmonisasi regulasi teknis dan fasilitasi perdagangan demi mengoptimalkan peluang ekspor serta meningkatkan daya saing industri padat karya.

Selain pasar Amerika, Indonesia juga memperoleh peluang besar dari kesepakatan perdagangan bebas Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) yang ditargetkan rampung pada September 2025. Melalui perjanjian ini, produk TPT Indonesia akan memiliki akses tarif nol persen ke pasar Eropa, dengan syarat pemenuhan aturan certificate of origin (COO).

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma G. Wirawasta, menyebut bahwa meski pasar Eropa tidak bisa langsung menggantikan dominasi AS, potensi pertumbuhannya sangat besar. Ia menargetkan ekspor TPT ke Eropa bisa meningkat hingga 30% dalam dua tahun pertama implementasi IEU-CEPA, dan dapat menembus 60% dalam jangka panjang. Namun, capaian ini sangat bergantung pada kesiapan pemerintah dalam memfasilitasi pemenuhan COO serta penerapan standar industri hijau yang mengedepankan nol emisi karbon sesuai dengan Paris Agreement.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor produk tekstil hulu (HS 50–54) ke Eropa menunjukkan potensi besar. Pada 2024, ekspor ke Eropa Barat mencapai US$24,6 juta, Eropa Selatan US$24,6 juta, Eropa Timur US$6,5 juta, dan Eropa Utara US$986 ribu.

Di sisi lain, pelaku industri dalam negeri mengingatkan pemerintah untuk tetap waspada terhadap banjirnya produk impor yang dapat mengganggu pasar domestik. Menurut Jemmy, perlindungan terhadap industri nasional tetap krusial agar kapasitas manufaktur lokal tidak tergerus. Pemerintah diharapkan mendorong peningkatan utilisasi pabrik, penguatan rantai pasok dalam negeri, serta penciptaan efek berganda terhadap serapan tenaga kerja dan investasi sektor TPT.

Dengan dukungan kebijakan yang tepat dan komitmen untuk terus memperkuat posisi Indonesia di pasar global, industri tekstil nasional berada dalam jalur positif untuk meningkatkan ekspor dan memperkuat ketahanan ekonomi.