Lonjakan impor benang dan kain dalam delapan tahun terakhir semakin menekan daya saing industri tekstil nasional. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada 2016 impor benang tercatat 230.000 ton dan kain 724.000 ton. Namun pada 2024, jumlahnya melonjak hampir dua kali lipat menjadi 462.000 ton untuk benang dan 939.000 ton untuk kain.
Kuota impor tersebut diterbitkan Kementerian Perindustrian melalui Pertimbangan Teknis (Pertek) sesuai tata niaga impor Kementerian Perdagangan. Namun, banjir produk impor justru berdampak pada melemahnya kontribusi sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) terhadap perekonomian nasional.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Farhan Aqil Syauqi, mengungkapkan kontribusi sektor TPT terhadap PDB terus menurun, dari 1,16% pada 2016 menjadi hanya 0,99% pada 2024. Neraca perdagangan TPT juga merosot dari surplus US$ 3,6 miliar pada 2016 menjadi hanya US$ 2,4 miliar tahun lalu.
Menurutnya, sejak 2017 neraca TPT secara volume sudah mengalami defisit 57.000 ton, yang terus membesar seiring pertumbuhan impor lebih tinggi dibandingkan ekspor. Farhan juga menyoroti pertumbuhan industri TPT yang tercatat 4,35% pada kuartal II-2025 secara tahunan.
“Data BPS memang benar, tetapi tidak menghitung importasi ilegal yang seharusnya menjadi pengurang PDB. Selain itu, investasi mangkrak juga tidak tercatat sebagai faktor pengurang dalam statistik,” jelas Farhan.
Meski enggan menanggapi langsung tudingan adanya mafia kuota impor, Farhan mengakui bahwa anggota asosiasi sangat terdampak oleh banjirnya barang impor. Ia menambahkan, penolakan Kementerian Perindustrian terhadap usulan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk benang filament semakin memperkuat dugaan adanya permainan dalam kuota impor yang merugikan industri nasional.