Kalangan pertekstilan nasional menuduh mafia kuota impor sebagai biang kerok keterpurukan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional dalam 8 tahun terakhir. Sebelumnya, asosiasi tekstil merilis data pemutusan hubungan kerja (PHK) sekitar 250 ribu pekerja akibat penutupan 60 pabrik di sepanjang tahun 2023 hingga 2024. Selanjutnya Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) baru-baru ini juga merilis data pengurangan tenaga kerja sampai dengan Agustus 2025 sekitar 400 ribu orang yang didominasi sektor TPT dan alas kaki.
Adanya mafia kuota impor tekstil ini dituduhkan Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Rayon Tekstil. Melalui siaran persnya, Direktur Eksekutif KAHMI Rayon Tekstil, Agus Riyanto mengatakan bahwa kuota impor yang dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian setiap tahunnya terus naik. “Tapi di sisi lain kita lihat banyak perusahaan tutup dan PHK karena tidak mampu bersaing dengan barang impor” ungkap Agus. “Artinya kuota impor yang dikeluarkan Kemenperin telah memakan porsi produk lokal di pasar domestik” tegasnya.
Data Badan Pusat Statistik memperlihatkan bahwa impor benang dan kain di tahun 2016 masing masing hanya sebesar 230 ribu ton dan 724 ribu ton, namun pada 2024 lalu masing-masing telah mencapai 462 ribu ton dan 939 ribu ton. Kuota impor tekstil diterbitkan oleh Kementerian Perindustrian melalui Pertimbangan Teknis (PERTEK) berdasarkan Peraturan Tata Niaga Impor dari Kementerian Perdagangan.
Kemudian Agus menjelaskan bahwa banyak keluhan dari industri lokal tentang kuota impor yang mereka ajukan biasanya hanya diberikan kurang dari sepertiga kapasitas produksinya pertahun. “Kalau kebutuhan industri dari impor hanya diberikan 30% tapi data impornya naik, lantas kuota impor yang besar diberikan pada siapa?” ungkap Agus.
Pihaknya juga mensinyalir kuota impor yang sangat besar diberikan oleh oknum pejabat di Kementerian Perindustrian hanya kepada jaringan kroni-kroni perusahaan di lingkaran mereka saja. “Sudah menjadi rahasia umum di kalangan pebisnis tekstil kalau kuota impor yang besar ini diberikan kepada belasan perusahaan API-P yang hanya dimiliki oleh sekitar 4 orang saja” tegas Agus.
Namun hal berbeda justru diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Farhan Aqil Syauqi. Ia menjelaskan bahwa memang kontribusi sektor TPT terhadap PDB setiap tahunnya terus turun dari 1,16% ditahun 2016 hingga hanya 0,99% ditahun 2024.
Neraca perdagangan TPT juga turun dari USD 3,6 milyar ditahun 2016 hingga hanya USD 2,4 Milyar di tahun 2024 “Bahkan dari sisi volume, perdagangan TPT kita sudah minus 57 ribu ton sejak tahun 2017 dan defisitnya terus membesar karena petumbuhan impor yang lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekspor” ungkapnya.
Terkait dengan data pertumbuhan industri TPT sebesar 4,35% di Q2 2025 secara YoY yang dipublikasikan oleh BPS, Aqil menjelaskan bahwa data BPS sudah benar sesuai dengan metode statistic yang digunakan. “Tapi memang BPS kan tidak menghitung importasi ilegal yang seharusnya menjadi pengurang dalam perhitungan PDB” ungkapnya.
Dan pihaknya pun mengakui bahwa ada investasi baru yang juga mendongkrak angka pertumbuhan namun tidak memperhitungkan investasi yang mangkrak. “Ya memang kan dalam perhitungan PDB yang dihitung hanya tambahan investasinya saja, investasi yang berhenti tidak dihitung sebagai pengurang” tegasnya.
Kemudian Aqil menyatakan bahwa baiknya tidak ada perdebatan soal angka pertumbuhan dan lainlain yang dikeluarkan BPS, lebih baik kita mencari solusi dari masalah PHK dan penutupan pabrik yang masih terus terjadi hingga memutus trend deindustrialisasi.
Terkait dengan mafia kuota impor tekstil yang dituduhkan, Aqil enggan menanggapinya meskipun anggotanya sangat terpengaruh dengan banjirnya barang impor. “Perlu diselidiki lebih lanjut, tapi dengan posisi Kemenperin yang menolak usulan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk Benang Filament sepertinya mafia kuota impor itu memang ada” pungkasnya.