Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) menjadi sorotan utama dalam dunia industri tekstil Indonesia menjelang tahun 2024. Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mengungkapkan pandangan mereka terkait permintaan kenaikan UMP sebesar 15% yang diajukan oleh serikat pekerja. Serikat pekerja telah menolak perhitungan UMP menggunakan rumus yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 51 Tahun 2023. Namun, API dan APSyFI menyuarakan pentingnya mempertimbangkan kenaikan UMP ini secara bijaksana, mengingat kondisi ekonomi global yang tidak stabil, yang juga berdampak pada Indonesia.
Ketua Umum API, Jemmy Kartika Sastraatmaja, menyoroti kondisi ekonomi global yang sedang tidak menguntungkan, mengakibatkan utilisasi industri tekstil yang terus menurun, bahkan turun di bawah 50%. Sastraatmaja menekankan perlunya penilaian bersama dalam mempertimbangkan kenaikan UMP, mempertimbangkan tidak hanya aspek karyawan tetapi juga keberlangsungan industri secara keseluruhan.
Di sisi lain, Ketua Umum APSyFI, Redma Gita Wirawasta, menyatakan keberatannya terhadap usulan kenaikan UMP sebesar 15%. Alasannya adalah sebagian besar produsen serat dan benang menghadapi beban yang besar, termasuk pasar ekspor yang mengalami kontraksi, tingginya volume impor di pasar lokal, pelemahan rupiah, dan kenaikan suku bunga.
Redma menjelaskan bahwa sebagian besar produsen sudah sulit untuk memenuhi kenaikan upah tersebut, dengan beberapa di antaranya telah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan merumahkan karyawan. Kendati demikian, ia juga menyoroti pentingnya penyelesaian masalah banjir impor yang mengancam industri tekstil.
Dalam konteks ini, dilema antara kebutuhan karyawan untuk kenaikan upah dan keterbatasan finansial perusahaan menjadi pusat perdebatan. Serikat Pekerja berharap untuk kenaikan upah sebagai bentuk pengakuan atas kontribusi mereka, sementara produsen berupaya mempertahankan keberlangsungan usaha di tengah tantangan ekonomi yang kompleks.
Kesepakatan bersama antara berbagai pihak terlibat—pemerintah, serikat pekerja, dan asosiasi industri—menjadi krusial untuk menemukan titik tengah yang memperhatikan kesejahteraan karyawan sekaligus kelangsungan industri dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi. Diplomasi dan diskusi terbuka menjadi kunci dalam mencari solusi yang menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat.