Industri tekstil Indonesia meningkatkan kekhawatiran atas perubahan peraturan baru-baru ini yang berpotensi merugikan pasar lokal. Revisi Permendag Nomor 36 Tahun 2023 menjadi Permen Nomor 8 Tahun 2024 bertujuan untuk menyederhanakan proses impor barang tertentu sehingga lebih mudah masuk ke Indonesia. Relaksasi peraturan yang berlaku mulai 17 Mei 2024 ini mencakup tujuh kategori barang impor: elektronik, alas kaki, pakaian dan aksesoris siap pakai, tas, dan katup. Meskipun langkah ini dimaksudkan untuk menyederhanakan prosedur impor, hal ini telah memicu kritik yang signifikan dari perwakilan industri tekstil lokal.

Redma Gita Wirawasta, Ketua Asosiasi Produsen Benang Filamen Indonesia (APSyFI), awalnya memuji upaya pemerintah berdasarkan peraturan sebelumnya untuk melindungi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dengan membatasi impor pakaian jadi. Namun, ia kini mengungkapkan kekecewaan mendalam atas pelonggaran aturan impor yang diberlakukan melalui Peraturan Nomor 8 Tahun 2024. Wirawasta berpendapat bahwa perubahan ini akan kembali membuka pintu masuk pakaian impor sehingga merugikan industri dalam negeri.

APSyFI memandang perubahan peraturan ini sebagai kekalahan pemerintah terhadap importir 'nakal'. Mendukung sikap ini, Andre Purnama, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat, menyatakan bahwa masuknya produk impor akan sangat berdampak pada permintaan lokal terhadap produk tekstil, dan membahayakan seluruh industri TPT dari hulu hingga hilir.

API menyoroti bahwa dampak dari Peraturan No. 8/2024 sudah terlihat, dengan adanya penurunan signifikan dalam permintaan tekstil lokal. Situasi ini memaksa beberapa perusahaan untuk melelang saham-saham yang belum terjual sehingga memperparah ancaman PHK massal di industri tersebut.

Untuk mendalami dampak pelonggaran peraturan impor ini terhadap industri TPT, mari ikuti dialog bersama Redma Gita Wirawasta, Ketua Umum APSyFI, dan Andre Purnama, Sekjen API Jawa Barat, yang dipandu oleh Dina Gurning pada Jumat, 31 Mei , 2024.