Industri dalam negeri Indonesia saat ini tengah menghadapi tantangan besar akibat lonjakan impor produk dari China. Banjirnya produk-produk murah asal China ke pasar Indonesia telah memberikan pukulan keras bagi produsen lokal, terutama di sektor tekstil dan garmen. Para pengusaha garmen, baik dari industri rumahan maupun pabrik besar, merasakan dampak langsung berupa penurunan pangsa pasar dan kesulitan bersaing dengan harga produk impor yang jauh lebih murah.

Lonjakan impor ini juga diperparah oleh meningkatnya pembelian produk secara daring (online), yang semakin memperketat persaingan bagi produsen lokal. Akibat dari kondisi ini, banyak pabrik tekstil terpaksa menghentikan operasinya, dan PHK massal tidak dapat dihindari. Dari Januari hingga Juli 2024, sedikitnya 12 pabrik tekstil di Indonesia telah menutup operasi mereka, menyebabkan lebih dari 12.000 pekerja kehilangan pekerjaan.

Menyikapi situasi ini, pemerintah Indonesia berupaya melindungi industri dalam negeri dengan mengumumkan rencana untuk mengenakan tarif impor hingga 200 persen pada beberapa produk dari China, termasuk tekstil, pakaian, alas kaki, elektronik, keramik, dan kosmetik. Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, menyatakan bahwa langkah ini diperlukan untuk menjaga kelangsungan usaha dan industri mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia.

Namun, penerapan tarif tinggi ini bukan tanpa risiko. China adalah mitra dagang terbesar Indonesia, dengan total perdagangan mencapai lebih dari $127 miliar pada 2023. Pengenaan tarif yang lebih tinggi berpotensi memicu pembalasan dari pihak China, yang dapat berdampak negatif pada hubungan perdagangan antara kedua negara. Di sisi lain, tarif yang tinggi juga diharapkan dapat mendorong produsen China untuk berinvestasi lebih banyak di Indonesia, yang dapat memberikan dorongan bagi ekonomi lokal.

Di daerah seperti Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang dikenal sebagai pusat produksi tekstil, dampak dari lonjakan impor ini sangat terasa. Ribuan pekerja tekstil di daerah tersebut kehilangan pekerjaan tetap dan kini bekerja secara bergiliran dengan penghasilan yang tidak menentu. Kondisi ini semakin memperburuk situasi yang sudah sulit sejak masa pandemi COVID-19, di mana banyak pekerja terpaksa beralih ke bisnis e-commerce untuk bertahan hidup.

Industri tekstil Indonesia kini menghadapi tantangan besar untuk tetap bertahan di tengah gempuran produk impor yang semakin intens. Peningkatan impor produk China sebagian besar disebabkan oleh ketegangan perdagangan antara AS dan China, yang menyebabkan peningkatan tarif Amerika atas barang-barang China. Namun, kondisi ini juga mencerminkan meningkatnya perdagangan intra-Asia sebagai hasil dari berbagai pakta perdagangan bebas yang diberlakukan di kawasan ini.

Selain Indonesia, negara-negara lain di Asia, seperti Thailand, juga merasakan dampak negatif dari membanjirnya produk murah dari China. Untuk melindungi produsen lokal, pemerintah Thailand telah memberlakukan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 7 persen atas semua produk impor, sebagai tindakan darurat yang berlaku dari Juli hingga Desember 2024.

Indonesia sendiri pernah mengeluarkan peraturan untuk memperketat pengawasan terhadap lebih dari 3.000 barang impor pada Desember 2023. Namun, peraturan tersebut akhirnya dibatalkan karena dianggap menghambat aliran bahan impor yang dibutuhkan untuk produksi lokal. Kini, pemerintah sedang mempertimbangkan langkah lain, seperti kenaikan tarif impor, untuk melindungi industri dalam negeri.

Produsen besar seperti PT Eksonindo Multi Product Industry juga merasakan dampak dari lonjakan impor ini. Perusahaan yang memproduksi pakaian dan aksesori di Jawa Barat ini berharap pemerintah menaikkan bea masuk atas barang jadi dari China, namun tidak pada bahan baku yang dibutuhkan untuk produksi lokal. Sebagian besar bahan yang digunakan perusahaan ini berasal dari China, sehingga penerapan tarif tinggi pada bahan mentah dapat mengganggu rantai pasokan dan berdampak negatif pada produksi.

Kesimpulannya, lonjakan impor dari China telah memberikan tekanan besar bagi industri dalam negeri Indonesia, terutama di sektor tekstil dan garmen. Pemerintah kini berada di persimpangan jalan, antara melindungi produsen lokal dengan tarif impor yang tinggi, atau mempertahankan hubungan perdagangan yang baik dengan China. Tantangan ini memerlukan solusi yang bijak agar industri dalam negeri dapat bertahan dan berkembang di tengah persaingan global yang semakin ketat.