Industri tekstil memegang peran penting dalam perekonomian Indonesia, tidak hanya sebagai sumber pendapatan negara, tetapi juga sebagai penyerap tenaga kerja yang signifikan. Namun, sektor ini tengah menghadapi sejumlah tantangan yang serius, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, yang menyoroti dua tantangan utama yang menghambat perkembangan industri tekstil Indonesia.
Tantangan Global: Aturan Ketat Uni Eropa
Salah satu tantangan utama yang dihadapi industri tekstil Indonesia berasal dari luar negeri, khususnya dari Uni Eropa. Jemmy menjelaskan bahwa mulai tahun depan, Uni Eropa akan menerapkan aturan yang sangat ketat terkait dengan produk tekstil yang masuk ke pasar mereka. Salah satu persyaratan penting adalah larangan penggunaan batu bara dalam proses produksi tekstil yang diekspor ke Uni Eropa.
"Jika Indonesia berhasil menandatangani perjanjian EU-CEPA, untuk mendapatkan fasilitas bea masuk nol persen, minimum ada proses dua tahap yang harus dilakukan di Indonesia. Ini berarti kain harus dicelup atau di-print di Indonesia. Selain itu, mulai tahun 2025, industri yang akan mengekspor ke Uni Eropa harus berpisah dengan penggunaan batu bara," ujar Jemmy dalam acara APEC BAC Indonesia di Jakarta.
Aturan ini tentunya menjadi tantangan besar bagi industri tekstil Indonesia yang masih bergantung pada batu bara sebagai sumber energi utama dalam proses produksinya. Jemmy berharap agar pemerintah dapat memberikan dukungan yang lebih besar, terutama dalam hal pasokan gas yang lebih murah dan berkelanjutan sebagai alternatif energi untuk industri tekstil.
Tantangan Domestik: Pasokan dan Harga Gas
Selain tantangan dari luar negeri, industri tekstil juga menghadapi masalah dalam negeri, terutama terkait dengan pasokan dan harga gas. Jemmy mengungkapkan bahwa salah satu persoalan krusial yang dihadapi oleh industri tekstil adalah pasokan gas yang belum merata, terutama di wilayah Bandung dan Solo, yang merupakan pusat-pusat industri tekstil di Indonesia.
"Saya sudah beberapa kali mengusulkan dan menanyakan kepada pemerintah kapan gas akan tiba di sentra-sentra industri tekstil, terutama di Solo Raya dan Bandung Raya," kata Jemmy.
Pasokan gas yang terbatas ini tentunya berdampak pada biaya produksi yang semakin tinggi, yang pada akhirnya mengurangi daya saing produk tekstil Indonesia di pasar global. Oleh karena itu, Jemmy berharap pemerintah dapat segera mengambil langkah konkret untuk memastikan pasokan gas yang stabil dan dengan harga yang terjangkau bagi industri tekstil.
Tantangan Hukum yang Berubah-ubah
Selain masalah energi, Jemmy juga menyoroti tantangan dari sisi regulasi. Ia menyatakan bahwa perubahan aturan hukum yang sering terjadi di Indonesia menambah beban bagi pelaku industri tekstil. Kondisi ini menyulitkan mereka dalam merencanakan investasi jangka panjang dan mengembangkan usaha.
Namun, di tengah berbagai tantangan ini, Jemmy menyangkal bahwa industri tekstil Indonesia sedang memasuki era senja atau sunset industry. Ia menegaskan bahwa masih banyak investor asing yang tertarik berinvestasi di Indonesia, menunjukkan bahwa sektor ini masih memiliki prospek yang cerah di masa depan.
Upaya Pemerintah
Menanggapi permintaan Jemmy, Wakil Menteri BUMN, Kartika Wirjoatmodjo, yang akrab disapa Tiko, menyatakan bahwa pemerintah sedang mengupayakan pembangunan infrastruktur pipanisasi gas untuk industri. Dalam upaya ini, pemerintah melalui Kementerian BUMN bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mempercepat pembangunan pipa gas yang dapat menjangkau industri tekstil.
"Kami sedang bekerja sama dengan Kementerian ESDM untuk investasi bersama dalam pipanisasi guna memasok gas ke industri," ujar Tiko.
Upaya ini diharapkan dapat menjadi solusi jangka panjang untuk memastikan pasokan energi yang stabil dan berkelanjutan bagi industri tekstil, sehingga sektor ini dapat terus berkembang dan berkontribusi pada perekonomian Indonesia.