Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia mengalami tekanan berat yang berkelanjutan selama dua tahun terakhir. Berdasarkan data yang dirilis oleh S&P Global, Purchasing Managers' Index (PMI) Indonesia pada Agustus 2024 turun ke level 48,9, menandakan kontraksi lebih lanjut dalam sektor manufaktur.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat Benang Filamen Indonesia (APSyFi), Redma Gita Wirawasta, menyatakan bahwa sektor TPT telah mengalami tekanan signifikan sejak tahun 2022. Tidak hanya berdampak pada TPT, pertumbuhan negatif ini juga merambat ke sektor lain seperti alas kaki, kulit, industri karet, petrokimia, hingga elektronik. Redma mengkritik lambannya respons pemerintah dalam mengatasi persoalan ini.
Senada dengan Redma, Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus, mengungkapkan bahwa kontraksi yang tercermin dari data PMI Manufaktur Indonesia selama dua bulan berturut-turut adalah kejadian yang jarang terjadi. Ahmad menegaskan bahwa situasi ini harus menjadi perhatian serius pemerintah, mengingat pentingnya sektor manufaktur bagi perekonomian Indonesia.
Penurunan PMI Manufaktur ini mencerminkan pesimisme pelaku usaha terhadap prospek bisnis di masa depan. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan keyakinan industri terhadap kondisi pasar. Dengan demikian, produksi dapat didorong kembali dan penyerapan tenaga kerja pun dapat meningkat.
Dampak dari penurunan PMI Manufaktur yang terus berlanjut dan deflasi selama empat bulan berturut-turut mengisyaratkan ancaman serius terhadap stabilitas ekonomi. Hal ini menjadi tanda bahwa pemerintah perlu segera bertindak untuk memperbaiki kondisi manufaktur nasional.