PT Sri Rezeki Isman Tbk. (Sritex), salah satu perusahaan tekstil terintegrasi terbesar di Asia Tenggara, kini menghadapi krisis keuangan besar. Perusahaan ini telah melaporkan peningkatan utang yang signifikan, disertai dengan pengurangan jumlah karyawan dan restrukturisasi utang untuk tetap bertahan.

Berdasarkan laporan yang disampaikan ke Bursa Efek Indonesia (BEI), hingga 31 Maret 2024, utang Sritex yang belum jatuh tempo mencapai US$ 31,67 juta, meningkat dari posisi Desember 2023. Selain itu, perusahaan mencatat utang yang jatuh tempo dalam 30 hingga 180 hari juga mengalami peningkatan, menambah tekanan pada kondisi keuangan mereka.

Dalam menghadapi krisis ini, Sritex telah mengambil langkah-langkah restrukturisasi surat utang jangka pendek atau Medium Term Notes (MTN), yang awalnya jatuh tempo pada 18 Mei 2021, dan diperpanjang hingga 29 Agustus 2027. Namun, beban utang yang terus bertambah memaksa perusahaan untuk meminta relaksasi terhadap pembayaran pokok dan bunga MTN tersebut.

Sejarah dan Kesuksesan Sritex
Didirikan oleh Haji Muhammad Lukminto, Sritex memiliki sejarah panjang yang berawal dari bisnis kecil di Solo pada tahun 1966. Lukminto, yang juga dikenal sebagai Le Djie Shin, memulai usahanya dengan menyewa kios kecil di Pasar Klewer dan menamakan usahanya UD Sri Redjeki. Berkat kegigihannya, bisnisnya berkembang pesat, dan pada tahun 1980, ia mendirikan pabrik cetak kain yang kemudian tumbuh menjadi PT Sri Rezeki Isman Tbk.

Kedekatan Lukminto dengan penguasa Orde Baru, khususnya dengan Presiden Soeharto dan Harmoko, Menteri Penerangan kala itu, turut membantu perkembangan pesat Sritex. Perusahaan ini sering kali mendapatkan proyek pengadaan seragam pemerintah, seperti seragam Korpri dan ABRI, yang membuatnya menjadi salah satu pemain dominan di industri tekstil Indonesia.

Utang Menggunung dan PHK Karyawan
Meski pernah berjaya, Sritex kini berjuang melawan utang besar yang mengancam kelangsungan bisnisnya. Hingga akhir tahun 2023, utang jangka pendek perusahaan mencapai US$ 113,02 juta, sebagian besar merupakan pinjaman bank jangka pendek, termasuk dari Bank Central Asia (BCA). Sementara itu, total kewajiban jangka panjangnya mencapai US$ 1,49 miliar, dengan sebagian besar merupakan pinjaman dari sindikasi bank internasional seperti Citigroup, DBS, HSBC, dan Shanghai Bank.

Dalam laporan keuangannya, Sritex mengungkapkan bahwa mereka masih berupaya merestrukturisasi utang kepada banyak bank serta menyelesaikan proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Sritex juga mengakui bahwa utang besar ini telah menyebabkan defisiensi modal dan menciptakan ketidakpastian material terkait kelangsungan usaha perusahaan.

Meskipun menghadapi krisis yang cukup serius, Sritex menyatakan bahwa mereka masih mendapatkan dukungan dari pemegang saham. Dukungan finansial ini, menurut manajemen, akan membantu perusahaan bertahan dan memenuhi kewajiban-kewajibannya.

Salah satu langkah yang diambil Sritex untuk mengurangi beban keuangan adalah dengan memangkas jumlah karyawan. Sepanjang tahun 2023, Sritex telah mengurangi 2.232 karyawan, dari semula 16.370 menjadi 14.138 karyawan.

Tantangan Kedepan
Sritex menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan kelangsungan bisnisnya. Meski telah melakukan berbagai upaya restrukturisasi dan efisiensi, beban utang yang besar dan ketidakpastian ekonomi global membuat masa depan perusahaan ini masih dipenuhi ketidakpastian. Perusahaan harus segera menemukan solusi jangka panjang agar dapat keluar dari krisis dan kembali ke jalur pertumbuhan.