Indonesia saat ini menghadapi serbuan batik impor dari Cina yang berdampak signifikan pada industri batik lokal. Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Reni Yanita, menyebutkan bahwa masuknya kain motif batik impor tersebut telah menekan penjualan batik asli dalam negeri. "Penjualan dalam negeri terdampak banjir kain motif batik dari Cina," ujar Reni pada Sabtu, 5 Oktober 2024.

Dampak dari serbuan impor ini terlihat jelas dari data penurunan kinerja ekspor batik lokal. Pada kuartal II tahun 2024, ekspor batik mengalami penurunan sebesar 8,39 persen secara tahunan (year-on-year). Merosotnya ekspor ini menjadi salah satu indikasi bagaimana industri batik lokal tertekan oleh masuknya produk impor yang lebih murah.

Untuk menghadapi situasi ini, Kemenperin mengambil langkah-langkah strategis guna melindungi industri batik lokal. Salah satu langkah utama adalah mendorong setiap daerah untuk mendaftarkan motif batiknya, terutama yang memiliki ciri khas geografis. Langkah ini diharapkan dapat memberikan proteksi terhadap motif batik asli Indonesia yang terancam oleh produk impor. "Pemerintah melindungi motif yang menjadi ciri khas geografis," kata Reni.

Selain itu, Kemenperin juga terus menggaungkan pentingnya masyarakat membeli produk batik asli. Batik tulis, yang dibuat dengan proses tradisional mencanting dan penggunaan malam panas, merupakan warisan budaya yang harus dilestarikan. Jika masyarakat terus membeli produk batik printing atau kain motif batik impor, batik asli Indonesia dikhawatirkan akan punah.

Di sisi lain, Kemenperin juga sedang memperjuangkan perpanjangan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) untuk pakaian jadi, yang masa berlakunya akan berakhir pada November 2024. Asosiasi dan Kemenperin telah aktif menyurati Kementerian Koordinator Perekonomian guna memperpanjang kebijakan safeguard tersebut untuk melindungi industri tekstil lokal dari persaingan tidak sehat dengan produk impor.

Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Tengah, Liliek Setiawan, menekankan betapa pentingnya industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia. Hingga 2023, sektor TPT masih menjadi penyumbang ekspor terbesar setelah sektor minyak dan gas, dengan kontribusi ekspor sebesar USD 14,22 miliar bahkan di tengah pandemi COVID-19. Sektor ini juga menyerap sekitar 4,5 juta pekerja, menjadikannya bagian krusial dari ekonomi nasional dan jejaring pengaman sosial bagi masyarakat Indonesia.

Dengan adanya serbuan batik impor, tantangan bagi industri batik dan tekstil lokal semakin meningkat. Namun, melalui proteksi dan kesadaran masyarakat untuk membeli produk lokal, diharapkan industri batik Indonesia dapat terus bertahan dan berkembang.