Industri tekstil Indonesia kembali menghadapi krisis serius akibat serbuan produk tekstil impor, baik legal maupun ilegal. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wiraswasta, menyampaikan bahwa pemerintah perlu segera mengambil langkah konkret untuk melindungi pasar domestik yang semakin tertekan oleh masuknya produk tekstil murah dari China.
Redma menjelaskan bahwa banjirnya barang impor China bermula dari overstock produk tekstil selama pandemi COVID-19. Ketika pasar global seperti Amerika Serikat, Eropa, India, dan Turki memberlakukan larangan impor dan kebijakan anti-dumping, China beralih ke pasar Indonesia sebagai alternatif. Kondisi ini diperburuk oleh regulasi domestik yang longgar, membuat Indonesia menjadi target empuk.
“Pasar kita mudah dimasuki, terutama untuk produk ilegal. Di tahun 2024, stok China masih tinggi karena banyak negara menolak produk mereka,” ungkap Redma pada Jumat (3/1/2025).
Tekanan terhadap industri tekstil Indonesia diperkirakan meningkat pada 2025 dengan kebijakan proteksionis Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump. Kebijakan near sourcing yang memprioritaskan pemasok dari negara-negara tetangga seperti Meksiko dan Brasil semakin membatasi akses China ke pasar global, sehingga produk mereka beralih ke Indonesia.
Redma menekankan bahwa penyelesaian krisis ini membutuhkan tindakan nyata, bukan sekadar insentif atau restrukturisasi permesinan. Ia menyebutkan tiga langkah utama yang harus diambil pemerintah:
Pertama, mengatasi impor ilegal. Praktik impor ilegal melalui borongan dan kubikasi harus dihentikan. Redma mengungkapkan perbedaan data impor resmi dan kenyataan di lapangan sebesar USD 1,5 miliar sepanjang 2023, yang setara dengan masuknya 2.000 kontainer ilegal per bulan.
Kedua, revisi Permendag 8/2024. Regulasi yang terlalu longgar harus diperketat. Redma menyarankan agar produk pakaian jadi juga diwajibkan memiliki persetujuan teknis (pertek) untuk mengontrol arus impor yang tidak terkendali.
Ketiga, pemberlakuan anti-dumping dan safeguard. Penerapan kebijakan anti-dumping dan safeguard terhadap produk tekstil impor dianggap krusial untuk melindungi produsen dalam negeri.
“Tiga langkah ini tidak memerlukan anggaran besar, hanya revisi aturan dan peningkatan kinerja Bea Cukai. Namun, pemerintah belum menunjukkan keseriusan meski kami telah menyampaikan usulan ini sejak 2022,” ujarnya.
Redma juga mengkritik pandangan beberapa kementerian yang menganggap industri tekstil nasional tidak menghadapi masalah serius. Ia menyoroti peningkatan setoran PPN dari barang impor, yang menurutnya tidak mencerminkan kesehatan industri lokal.
Lebih jauh, ia mencurigai adanya kelompok tertentu di pemerintahan yang memiliki kepentingan terhadap impor, sehingga menghambat upaya penyelesaian masalah. “Ada solusi yang jelas, tetapi pemerintah justru mencari jalan keluar yang tidak relevan, seperti pemberian insentif atau restrukturisasi permesinan. Ini membuat kami bertanya-tanya, apakah ada pihak yang diuntungkan dari impor ini?” tutupnya.
Jika langkah-langkah konkret tidak segera diambil, industri tekstil Indonesia akan terus menghadapi tekanan berat dari produk impor, terutama dari China. Pemerintah perlu menunjukkan keberpihakan kepada industri lokal dengan memberlakukan kebijakan yang melindungi pasar domestik secara efektif. Tanpa tindakan tegas, masa depan industri tekstil nasional bisa semakin suram.