Rencana pemerintah untuk membuka keran impor secara luas dan menghapus kebijakan Pertimbangan Teknis (Pertek) dalam proses perizinan impor menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku industri dalam negeri. Langkah ini dinilai berisiko menekan kinerja industri nasional apabila tidak diiringi dengan tata niaga impor yang selektif dan terukur. Pertek, yang sebelumnya berfungsi sebagai pengendali kuota impor agar selaras dengan kebutuhan dan pasokan dalam negeri, telah dihapus melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8 Tahun 2024. Sebagai gantinya, perizinan impor kini hanya mengacu pada Persetujuan Impor (PI) dari Kementerian Perdagangan.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma G. Wirawasta, menilai cakupan Permendag 8/2024 terlalu luas dan tidak membedakan antara bahan baku, produk setengah jadi, dan barang jadi. Ia menekankan perlunya perlindungan khusus terhadap produk tekstil dan pakaian jadi, mengingat pasar dalam negeri sudah dibanjiri produk impor murah dari Tiongkok dan negara lain. Akibatnya, kapasitas produksi industri tekstil nasional merosot hingga hanya 45%, menyebabkan permintaan dari sektor hulu turun drastis dan mengancam kelangsungan industri secara keseluruhan.

Redma menyatakan bahwa pelonggaran kebijakan impor masih bisa dimaklumi untuk bahan baku yang memang belum tersedia cukup di dalam negeri, namun tidak untuk barang jadi. Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (Aprisindo), Yoseph Billie Dosiwoda, yang menilai bahwa kebijakan impor harus tetap selektif. Ia menekankan bahwa industri alas kaki memang memerlukan bahan baku impor tertentu, namun bukan barang jadi yang sudah dapat diproduksi secara lokal.

Dari sudut pandang ekonomi makro, Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho, memperingatkan bahwa kebijakan impor bebas tanpa regulasi pengendalian berisiko menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian nasional. Pasar domestik dinilai sangat rentan terhadap serbuan produk murah, bahkan ilegal, dari luar negeri. Industri padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan barang elektronik ringan sudah mengalami tekanan berat, termasuk gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Jika impor dibuka tanpa pembatasan, kondisi ini diperkirakan akan semakin memburuk dan berujung pada penurunan daya beli masyarakat akibat hilangnya pendapatan.

Instruksi Presiden Prabowo Subianto untuk menghapus sistem kuota dalam kegiatan impor menambah sorotan atas kebijakan ini. Dalam acara Silaturahmi Ekonomi Bersama Presiden RI pada 8 April 2025, Presiden menyampaikan bahwa tidak perlu ada pembatasan atau penunjukan khusus dalam kegiatan impor, termasuk untuk komoditas seperti daging. Ia juga menegaskan bahwa ke depan, penerbitan Pertek harus mendapatkan izin langsung dari Presiden untuk menyederhanakan prosedur dan mempermudah masuknya barang ke dalam negeri.

Presiden menyatakan bahwa langkah ini bertujuan menciptakan iklim usaha yang kondusif dan memberikan kemudahan bagi para pelaku usaha. Namun, di sisi lain, pelaku industri lokal berharap agar kebijakan tersebut tetap mempertimbangkan keberlangsungan sektor manufaktur nasional yang kini tengah berjuang menghadapi tekanan global dan lonjakan barang impor.