Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia tengah berada di titik nadir. Gempuran produk impor yang masif, lemahnya permintaan pasar, dan stagnasi investasi telah membawa industri ini ke jurang krisis. Dalam beberapa tahun terakhir, penurunan jumlah tenaga kerja menjadi cerminan nyata dari situasi yang semakin memburuk. Dari 5,5 juta pekerja sebelum pandemi, kini tersisa hanya 3,9 juta orang yang masih bertahan di sektor ini.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ian Syarif, menyatakan bahwa industri tekstil kini sedang menuju kebangkrutan secara perlahan. Ketiadaan keuntungan membuat pengusaha tidak mampu melakukan belanja modal ataupun menarik investor baru. Dampaknya terasa luas, termasuk pada momen Lebaran yang biasanya menjadi waktu panen bagi para produsen. Tahun ini, hanya 30% dari total produksi yang berhasil terjual. Sisanya menumpuk di gudang, tidak menghasilkan uang, dan memperburuk kondisi arus kas perusahaan.
Masalah semakin kompleks ketika para pedagang pun kesulitan membayar barang yang sudah mereka ambil karena tidak laku di pasar. Ian menuturkan bahwa upaya penagihan ke pelanggan pun kian sulit, sebab barang yang dijual tak kunjung menjadi uang tunai. Situasi ini dianggap sebagai ancaman besar bagi kelangsungan industri TPT lokal.
Kondisi serupa juga dirasakan oleh pelaku usaha pakaian bayi. Roedy Irawan, Pembina Pengurus Perkumpulan Pengusaha Pakaian dan Perlengkapan Bayi Indonesia (P4B), mengatakan bahwa produksi kini hanya dilakukan berdasarkan pesanan. Stok besar tidak lagi menjadi pilihan karena ketidakpastian pasar. Proses produksi pun kini berlangsung secara tidak menentu, hanya hidup saat ada permintaan, lalu kembali mati saat pasar lesu.
Pantauan di pusat perdagangan WTC Mangga Dua mengungkap bahwa produk impor masih beredar luas tanpa kendali. Banyak barang yang dijual tanpa label berbahasa Indonesia, didominasi tulisan Hanzi dari China, menandakan lemahnya pengawasan dan regulasi.
Situasi ini menuntut perhatian serius dari pemerintah. Menurut Roedy, bahkan jika pemerintah segera mengambil langkah pembatasan impor, industri tetap butuh waktu untuk pulih. Dengan banyaknya stok yang masih beredar di pasar, dibutuhkan setidaknya enam bulan untuk melihat efek dari kebijakan tersebut. Tanpa tindakan nyata dan cepat, industri tekstil nasional akan semakin tenggelam di tengah derasnya arus barang impor.