Usulan Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI) untuk menaikkan tarif Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) terhadap produk benang filamen impor seperti POY (Partially Oriented Yarn) dan DTY (Draw Textured Yarn) menuai sorotan dari berbagai pihak. Di tengah perdebatan mengenai dampaknya terhadap industri hilir dan iklim usaha, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) menyuarakan dukungan kuat terhadap kebijakan ini sebagai langkah strategis menyelamatkan ekosistem industri tekstil nasional.
Sekretaris Jenderal BPP HIPMI, Anggawira, menilai kekhawatiran bahwa BMAD mengganggu persaingan usaha adalah pandangan yang menyesatkan. Ia menekankan bahwa kebijakan ini bukan bentuk proteksionisme semata, melainkan koreksi terhadap praktik perdagangan tidak adil yang selama ini melumpuhkan industri tekstil hulu. Dumping, menurutnya, telah menyebabkan produk impor masuk dengan harga di bawah biaya produksi, yang merusak struktur pasar domestik dan mematikan pabrik-pabrik lokal.
Dampak dari praktik dumping ini sangat dirasakan oleh produsen benang dalam negeri. Banyak pelaku usaha terpaksa menghentikan operasionalnya akibat tidak mampu bersaing dari sisi harga, meskipun memiliki kualitas dan kapasitas produksi yang kompetitif. Akibatnya, industri hulu tekstil mengalami stagnasi, pemutusan hubungan kerja massal, dan turunnya produktivitas sektor manufaktur.
Anggawira menegaskan bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam industri tekstil global. Rantai pasoknya yang terintegrasi dari hulu hingga hilir menjadikan Indonesia salah satu dari sedikit negara yang mampu memproduksi tekstil secara lengkap, sejajar dengan India dan China. Oleh karena itu, melindungi sektor hulu melalui kebijakan BMAD adalah langkah penting untuk menjaga keberlanjutan dan daya saing industri tekstil nasional secara menyeluruh.
Mengenai kekhawatiran Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) soal terganggunya pasokan bahan baku, Anggawira menilai perlu ada kajian objektif. Justru, industri hulu yang sehat akan menciptakan pasokan yang stabil dan berkelanjutan untuk sektor hilir dalam jangka panjang.
Ia juga menyoroti dampak positif BMAD terhadap pemulihan ekonomi nasional. Dengan kembalinya kapasitas produksi di sektor hulu, lapangan kerja dapat tercipta kembali, mendorong daya beli masyarakat, dan merangsang pertumbuhan ekonomi di sentra-sentra industri seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah.
HIPMI mendorong agar kebijakan perlindungan ini diimbangi dengan reformasi industri, mulai dari modernisasi teknologi, peningkatan efisiensi, hingga penguatan hilirisasi. Pemerintah juga diharapkan aktif mendorong transfer teknologi dan pengembangan keterampilan tenaga kerja agar industri tekstil Indonesia dapat menjadi lokomotif industrialisasi nasional.
Dengan latar belakang ini, BMAD dipandang bukan sekadar respons terhadap tekanan global, tetapi sebagai fondasi penting untuk memperkuat ketahanan industri tekstil Indonesia dalam jangka panjang.