Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia tengah menghadapi tekanan berat akibat membanjirnya barang impor. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wiraswasta, menyebut keberadaan mafia impor sebagai dalang utama keterpurukan sektor ini. Menurutnya, mafia tersebut memiliki kekuatan besar dalam menentukan kuota impor yang hanya menguntungkan kelompok tertentu, sementara pejabat-pejabat terkait disebut tak berdaya menghadapi tekanan mereka.

Redma menegaskan bahwa langkah awal untuk menyelamatkan industri tekstil nasional adalah membersihkan mafia kuota impor. Ia menyebut, sebaik apa pun alat pengendalian yang diterapkan pemerintah, akan selalu mendapat perlawanan jika mafia masih menguasai sistem. Bahkan, instrumen seperti pertimbangan teknis (Pertek) yang semestinya menjadi alat pembatasan impor, justru dinilai memperlemah daya saing produk lokal karena pelaksanaannya yang tidak efektif.

Alih-alih menekan impor, kebijakan teknis yang berlaku saat ini dinilai justru membuat produk lokal tersingkir di pasar dalam negeri. Data menunjukkan bahwa alih-alih menurun, impor justru meningkat, sedangkan utilisasi pabrik dalam negeri menurun drastis. Redma juga menyebut berbagai instrumen perlindungan lain seperti Bea Masuk Anti Dumping (BMAD), tindakan safeguard, dan kewajiban Standar Nasional Indonesia (SNI) kerap ditolak atau disepakati dengan tarif yang sangat rendah.

Ia menyebut kondisi saat ini sebagai tsunami barang impor, di mana pasar domestik dibanjiri produk luar negeri secara masif. Untuk pertama kalinya dalam sejarah industri tekstil nasional, Indonesia mencatatkan defisit perdagangan TPT: ekspor menurun signifikan, sementara impor melonjak tajam. Situasi ini dinilai sangat mengkhawatirkan dan berpotensi menghancurkan daya saing industri dalam negeri secara permanen.

Senada dengan hal tersebut, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Mohammad Faisal, menyoroti bahwa lonjakan impor tekstil, khususnya dari Tiongkok, telah terjadi jauh sebelum era Presiden Donald Trump. Dalam periode 2023–2024, tren impor dari China ke Indonesia meningkat tajam, baik melalui jalur legal maupun ilegal.

Faisal juga mengungkapkan adanya ketimpangan data antara ekspor Tiongkok ke Indonesia dengan data impor yang tercatat oleh pemerintah Indonesia. Nilai ekspor dari Tiongkok jauh lebih besar dibandingkan data impor Indonesia, yang mengindikasikan adanya arus barang masuk yang tidak tercatat secara resmi—membuka dugaan praktik impor ilegal yang terorganisir.

Di tengah tekanan global dan persaingan pasar yang makin ketat, desakan terhadap pemerintah untuk membenahi sistem pengawasan impor semakin kuat. Tanpa pembenahan menyeluruh, termasuk penghapusan praktik mafia kuota impor, industri tekstil nasional dikhawatirkan akan semakin terpuruk.