Indeks Manufaktur Indonesia kembali menunjukkan sinyal yang belum menggembirakan. Memasuki bulan Juli 2025, Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia tercatat berada di level 49,1. Meski mengalami sedikit kenaikan dari posisi Juni yang berada di angka 46,9, indeks ini masih berada di bawah ambang batas netral 50, yang menandakan sektor manufaktur masih dalam fase kontraksi.
Ketidakpastian ini bukanlah hal baru. Sejak April 2025, PMI Indonesia secara konsisten bertengger di zona kontraksi, mencerminkan tekanan serius di sektor industri, termasuk industri tekstil yang terdampak paling signifikan. Semester I-2025 menjadi periode penuh tantangan bagi para pelaku usaha tekstil nasional.
Ekonom S&P Global Market Intelligence, Usamah Bhatti, menyatakan bahwa penurunan output dan permintaan baru baik dari pasar domestik maupun ekspor menjadi penyebab utama dari lambatnya pemulihan sektor manufaktur. Kekhawatiran pengusaha pun kian meningkat, terutama terkait tekanan eksternal seperti potensi tarif tambahan dari Amerika Serikat serta penurunan daya beli yang terus membayangi pasar.
Kelesuan sektor ini tergambar jelas dalam kinerja tiga emiten tekstil besar: PT Pan Brothers Tbk. (PBRX), PT Indo-Rama Synthetics Tbk. (INDR), dan PT Asia Pacific Fibers Tbk. (POLY). Ketiganya mencatatkan penurunan pendapatan signifikan sepanjang semester pertama tahun ini.
PT Pan Brothers Tbk. mengalami penurunan penjualan sebesar 24,46% secara tahunan (YoY) menjadi US$ 120,11 juta. Baik penjualan ekspor maupun domestik mencatat kontraksi tajam, masing-masing turun 21,12% dan 43,36% YoY. Kondisi ini menjadi gambaran konkret menurunnya permintaan global dan lokal terhadap produk tekstil Indonesia.
PT Indo-Rama Synthetics Tbk. juga mengalami penurunan pendapatan sebesar 11,55% YoY menjadi US$ 366,63 juta. Penjualan ekspor turun 19,13% menjadi US$ 171,72 juta, sedangkan penjualan dalam negeri menurun 3,59% menjadi US$ 194,91 juta.
Sementara itu, kondisi lebih memprihatinkan terjadi pada PT Asia Pacific Fibers Tbk. yang mengalami penurunan pendapatan hingga 81,17% secara YoY menjadi hanya US$ 21,90 juta. Penjualan lokalnya bahkan merosot tajam hingga 86,80% dan penjualan ekspor turun 53,88%.
Dalam laporan S&P Global disebutkan bahwa beberapa perusahaan mencoba bertahan dengan meluncurkan proyek baru. Namun, efektivitas strategi ini masih terbatas, mengingat permintaan asing terhadap produk Indonesia tetap menurun. Tren pengurangan tenaga kerja dan pembatasan pembelian bahan baku menunjukkan bahwa banyak perusahaan tengah melakukan langkah efisiensi besar-besaran.
Dengan PMI yang masih berada di zona kontraksi dan kinerja keuangan perusahaan tekstil yang memburuk, industri tekstil Indonesia kini menghadapi tantangan besar. Pemulihan sektor ini sangat bergantung pada stabilitas permintaan domestik dan global, serta kebijakan strategis dari pemerintah untuk menciptakan iklim usaha yang lebih kompetitif.