Industri tekstil nasional mulai menunjukkan perbaikan pada tahun 2025, seiring dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) di kuartal I dan II yang tercatat di atas 4 persen. Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arief menyatakan capaian tersebut merupakan hasil evaluasi kebijakan bertahap setelah sebelumnya industri menghadapi tekanan akibat faktor makroekonomi dan derasnya arus impor, khususnya pakaian jadi.

 Febri menepis anggapan sejumlah pihak yang menyalahkan Kemenperin sebagai penyebab maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). Ia menegaskan bahwa impor tidak sepenuhnya melalui alokasi pertimbangan teknis (pertek) yang diterbitkan Kemenperin, melainkan juga masuk lewat Kawasan Berikat, impor borongan, maupun barang ilegal. Dengan demikian, gap data antara Badan Pusat Statistik (BPS) dan pertek tidak bisa serta-merta dijadikan dasar menyalahkan Kemenperin.

 Febri menjelaskan, total kode HS industri TPT dari hulu hingga hilir mencapai 1.332 pos tarif. Dari jumlah itu, sebanyak 941 HS atau 70,65 persen masuk kategori Lartas dengan kewajiban PI dan pertek, sedangkan 980 HS atau 73,57 persen wajib LS. Angka tersebut meningkat signifikan dibandingkan aturan sebelumnya yang hanya mengatur 593 HS atau 44,51 persen. Perubahan ini menunjukkan bahwa banjir produk impor TPT justru terjadi ketika banyak pos tarif tidak dikenakan Lartas, LS, maupun PI.

 Ia menambahkan bahwa sejak 2017, pengaturan impor TPT telah didasarkan pada aturan resmi, mulai dari mekanisme kebutuhan tahunan berdasarkan Rakortas di Kemenko Perekonomian hingga penerapan verifikasi kemampuan industri (VKI) pada 2022. Pada 2023, data menunjukkan persetujuan impor melalui VKI bahkan melebihi angka impor BPS untuk benang, sedangkan pada 2024 penerapan pertek menunjukkan perbaikan signifikan dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan industri dan perlindungan produk dalam negeri.

Febri menekankan bahwa sejak Agustus 2025, pengaturan impor pakaian jadi baru dilimpahkan ke Kemenperin, sehingga kini seluruh rantai TPT sudah berada dalam koridor regulasi yang lebih jelas. Ia juga menegaskan komitmen Kemenperin untuk membersihkan praktik curang di internal kementerian. Apabila terdapat bukti pelanggaran dalam penerbitan pertek, pihaknya siap menindaklanjuti sesuai hukum yang berlaku.

Menurut Febri, mekanisme impor TPT tetap merujuk pada peraturan resmi, dengan pengecualian untuk Kawasan Berikat, Gudang Berikat, Kawasan Perdagangan Bebas, serta fasilitas khusus seperti KITE dan AEO. Ia menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa rendahnya angka pertek maupun VKI mencerminkan sikap selektif pemerintah dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan industri dan perlindungan produk domestik.