Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menegaskan bahwa impor tekstil dan produk tekstil (TPT) tidak seluruhnya dilakukan melalui mekanisme pertimbangan teknis (pertek). Penjelasan ini disampaikan sebagai respons terhadap tudingan sejumlah pihak yang menyebut Kemenperin sebagai penyebab terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di sektor TPT akibat lemahnya tata niaga impor.

Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, menekankan bahwa terdapat kesalahpahaman dalam melihat data impor. Ia menjelaskan bahwa instrumen yang dimiliki Kemenperin hanya sebagian dari rantai ekosistem importasi tekstil, sedangkan impor terbesar justru tidak berasal dari alokasi pertek. Febri menambahkan bahwa kesenjangan data antara Badan Pusat Statistik (BPS) dan pertek tidak bisa serta-merta dikaitkan dengan kebijakan Kemenperin, sebab barang impor juga dapat masuk melalui Kawasan Berikat, impor borongan, maupun jalur ilegal.

Saat ini terdapat 1.332 pos tarif atau kode HS untuk industri TPT dari hulu hingga hilir, di mana 941 HS masuk kategori larangan terbatas (lartas) dengan kewajiban perizinan impor (PI) dan pertek sesuai Permendag Nomor 17 Tahun 2025. Selain itu, sebanyak 980 HS diwajibkan memenuhi persyaratan Laporan Surveyor (LS). Sebelumnya, di Permendag Nomor 8 Tahun 2024, hanya 593 HS yang diatur perteknya. Perubahan ini menunjukkan bahwa lonjakan impor TPT terjadi saat banyak HS tidak termasuk dalam pengaturan lartas maupun LS.

Febri juga menjelaskan bahwa sejak 2017 mekanisme impor TPT selalu didasarkan pada aturan resmi. Ia mencontohkan, pada periode 2017–2022, alokasi impor dilakukan dengan mengacu pada data kebutuhan tahunan yang disusun Kemenperin melalui rapat koordinasi tingkat menteri di Kemenko Perekonomian. Perubahan signifikan terjadi pada 2022 dengan terbitnya Permenperin 36/2022 yang memperkenalkan mekanisme verifikasi kemampuan industri (VKI). Data menunjukkan pada 2023 volume impor serat dan benang yang disetujui VKI relatif sejalan dengan angka BPS, meski pada benang tercatat lebih tinggi.

Pada 2024, melalui Permenperin 5/2024, mekanisme pertek kembali diperkuat dengan masa berlaku per tahun takwim. Hasilnya, jumlah perusahaan yang disetujui meningkat menjadi 542, sementara persentase pertek terhadap total impor BPS untuk serat dan benang menunjukkan perbaikan signifikan dibanding tahun sebelumnya. Lebih lanjut, sejak Agustus 2025, kewenangan pertek untuk impor pakaian jadi juga dilimpahkan ke Kemenperin agar seluruh rantai industri TPT dapat berada dalam pengaturan yang lebih jelas.

Febri menegaskan bahwa Kemenperin terbuka terhadap pelaporan jika ada dugaan kecurangan dalam penerbitan pertek. Ia menambahkan bahwa mekanisme impor tetap merujuk pada aturan Permendag, dengan pengecualian bagi Kawasan Berikat, Gudang Berikat, KPBPB, Importir Jalur Prioritas, Pusat Logistik Berikat, KEK, AEO, MITA Produsen, serta KITE.

Menurutnya, angka yang terlihat rendah dalam pertek maupun VKI justru mencerminkan selektivitas pemerintah dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan industri dan perlindungan produk dalam negeri. Ia menutup dengan menegaskan bahwa mekanisme pengaturan impor TPT dijalankan secara konsisten, transparan, dan akuntabel.