Perdebatan mengenai akar persoalan menurunnya daya saing UMKM tekstil kembali mencuat seiring dengan maraknya isu penertiban pedagang pakaian bekas atau thrifting. Para pelaku usaha thrifting menolak apabila penurunan kinerja UMKM dikaitkan dengan keberadaan mereka, karena menilai segmen pasar yang dibidik berbeda. Di hadapan Badan Aspirasi Masyarakat DPR RI, mereka justru menyoroti membanjirnya pakaian impor murah sebagai faktor utama yang menekan pelaku industri tekstil lokal.

Data yang dipaparkan menunjukkan produk pakaian asal China mendominasi sekitar 80 persen pasar nasional. Sementara itu, sisanya diisi oleh impor dari Amerika Serikat, Vietnam, dan India. Ironisnya, pangsa pasar produk UMKM tekstil dalam negeri hanya sekitar 5 persen. Ketimpangan tersebut memperlihatkan kerasnya persaingan yang harus dihadapi pelaku lokal, terutama dalam aspek harga dan volume produksi yang jauh tertinggal.

Pemerintah telah mengambil langkah tegas dengan menutup jalur masuk impor pakaian bekas melalui kebijakan Kementerian Keuangan. Upaya ini dilakukan untuk melindungi industri tekstil nasional dan menjaga keamanan produk yang beredar bagi konsumen. Langkah tersebut kemudian diikuti strategi substitusi produk, yakni mendorong konsumsi produk lokal sebagai alternatif pengganti barang bekas impor.

Kementerian UMKM mencatat sebanyak 1.300 merek lokal disiapkan untuk mengisi ruang pasar yang sebelumnya didominasi pakaian bekas impor. Tidak hanya di sektor pakaian, tetapi juga mencakup tas, sepatu, hingga sandal. Harapannya, konsumen tetap mendapatkan pilihan produk terjangkau tanpa harus mengorbankan kualitas dan keberlanjutan industri dalam negeri.

Namun demikian, tren thrifting masih terus berkembang karena daya tarik harga murah serta kesempatan mendapatkan produk bermerek. Hal ini membuat fenomena thrifting tetap menjadi sorotan publik, meskipun pelakunya menegaskan bahwa karakteristik pasar mereka tidak sepenuhnya beririsan dengan UMKM lokal.

Situasi kompetisi industri tekstil nasional semakin kompleks ketika berbagai faktor seperti dominasi impor murah, perubahan selera konsumen, dan maraknya perdagangan pakaian bekas saling berkelindan. UMKM yang masih berjuang memperkuat kapasitas produksi pun menghadapi tantangan berat untuk bertahan di tengah gempuran tersebut. Pemerintah berharap kebijakan pelarangan impor pakaian bekas serta dukungan terhadap produk lokal dapat memperbaiki keseimbangan pasar, namun keberhasilannya sangat ditentukan oleh efektivitas pengawasan dan respons konsumen.

Dalam jangka panjang, berbagai kebijakan ini diharapkan mampu menciptakan ekosistem pasar yang lebih sehat, kompetitif, dan berpihak pada produsen lokal. Jika konsistensi keberpihakan dapat dijaga, industri fashion dalam negeri—terutama UMKM—berpeluang memperluas pangsa pasar dan menjelma menjadi kekuatan utama di negeri sendiri.