Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di industri tekstil terus meningkat, menimbulkan kekhawatiran akan dampaknya terhadap daya beli masyarakat. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraarmadja, mengungkapkan bahwa sejak Januari hingga Agustus 2024, sebanyak 46.240 pekerja telah terkena PHK menurut data Kementerian Ketenagakerjaan. Selain itu, data dari Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) menunjukkan bahwa 10 perusahaan tekstil melakukan PHK massal pada periode yang sama.
Dari 10 perusahaan tersebut, enam di antaranya terpaksa menutup pabrik, sedangkan empat lainnya mengurangi jumlah pekerja untuk efisiensi. Total karyawan yang terkena dampak mencapai sekitar 13.800 orang, meskipun Jemmy meyakini bahwa jumlah sebenarnya mungkin lebih besar. Hal ini disebabkan oleh banyaknya perusahaan yang tidak melaporkan PHK secara resmi, atau tidak membedakan antara PHK dan kontrak kerja yang tidak diperpanjang, yang sama-sama mengakibatkan hilangnya pekerjaan.
Penurunan daya beli masyarakat juga menjadi masalah utama yang disoroti Jemmy. Deflasi yang dialami Indonesia selama empat bulan berturut-turut mencerminkan lemahnya daya beli, sebuah indikasi bahwa kondisi ekonomi sedang terpuruk. Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menjadi salah satu sektor yang paling terdampak, dengan tingkat utilisasi manufaktur yang stagnan pada angka 50% hingga 60% dari kapasitas terpasang.
API memperkirakan bahwa tahun 2025 akan menjadi tahun yang sulit bagi industri tekstil, kecuali pemerintah mengambil langkah konkret untuk membantu industri ini. Jemmy menegaskan bahwa keberpihakan pemerintah terhadap industri padat karya seperti TPT sangat diperlukan, terutama dalam hal kebijakan yang melindungi industri dari serbuan barang impor, baik legal maupun ilegal.
"Pemerintah perlu memperbaiki regulasi importasi dan memperkuat penegakan hukum terhadap importasi ilegal yang merugikan industri dalam negeri. Langkah ini sangat penting untuk menyelamatkan jutaan pekerja dan industri kecil menengah (IKM) yang terlibat dalam mata rantai produksi tekstil," ujar Jemmy.
Harapan API agar pemerintah segera bertindak untuk memperbaiki regulasi dan memperkuat perlindungan terhadap industri tekstil menjadi krusial demi menjaga keberlanjutan sektor ini di tengah tekanan ekonomi yang ada.