Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (ApsyFi) menilai bahwa penutupan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) mencerminkan kegagalan pemerintah dalam mengelola industri tekstil dan produk tekstil (TPT) selama satu dekade terakhir. Berhentinya operasional Sritex dinilai akan melemahkan ekosistem industri tekstil nasional karena perusahaan ini memiliki peran strategis dalam rantai pasok dari hulu hingga hilir.
Ketua Umum ApsyFi, Redma Gita Wiraswasta, menyoroti bahwa Sritex memiliki fasilitas pengolahan bahan baku seperti rayon yang sudah mulai melemah sejak 2023. Selain itu, perusahaan ini juga berada di sektor midstream yang memproduksi benang dan kain. Ketika bagian tengah ini mengalami kejatuhan, serapan bahan baku di industri hulu berkurang secara signifikan, yang pada akhirnya mengganggu pasokan ke sektor hilir. Dampak dari situasi ini memperparah kondisi industri tekstil dalam negeri yang sudah tertekan oleh berbagai faktor eksternal.
Salah satu penyebab utama krisis industri tekstil adalah maraknya impor ilegal dan peredaran barang murah yang masuk tanpa regulasi ketat. ApsyFi menilai bahwa pemerintah gagal melindungi pasar domestik yang seharusnya menjadi benteng terakhir bagi industri dalam negeri. Setelah pandemi Covid-19, kondisi industri tekstil sempat menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Namun, dengan semakin masifnya impor ilegal dan sulitnya ekspor akibat ketegangan geopolitik global, industri tekstil nasional justru semakin terpuruk. Sritex menjadi salah satu korban terbesar dari kebijakan perdagangan yang dinilai tidak berpihak pada pelaku industri lokal.
Dampak dari krisis ini semakin terlihat dengan meningkatnya jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penutupan pabrik. Sepanjang 2024, tercatat sudah lebih dari 60 perusahaan TPT yang tutup, sementara PHK terjadi hampir setiap pekan. Kondisi ini menunjukkan bahwa ketahanan industri tekstil dalam negeri semakin rapuh tanpa adanya intervensi yang efektif dari pemerintah.
Menurut ApsyFi, langkah penyelamatan industri TPT sebenarnya cukup sederhana: pemerintah harus serius dalam memberantas impor ilegal dan menindak tegas oknum yang terlibat dalam penyelundupan barang. Redma menegaskan bahwa pemerintah tidak perlu memberikan insentif finansial atau subsidi energi, tetapi cukup menegakkan aturan perdagangan yang adil dan menghilangkan perlakuan khusus terhadap barang impor. Penindakan terhadap oknum di sektor logistik, aparat, dan birokrasi yang berkolaborasi dengan importir ilegal menjadi langkah krusial untuk membenahi situasi ini. Regulasi yang lebih ketat dan pengawasan yang lebih ketat diharapkan mampu mengembalikan daya saing industri tekstil dalam negeri sebelum lebih banyak perusahaan mengalami nasib yang sama seperti Sritex.