Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terus menghantui industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional. Ikatan Alumni Institut Teknologi Tekstil-Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil (IKA Tekstil) menyatakan keresahan atas kondisi tersebut, yang kini tidak hanya menimpa pekerja level operator, tetapi juga tenaga ahli hingga manajemen menengah.
Ketua Umum IKA Tekstil, Riady Madyadinata, mengungkapkan banjir produk impor, baik legal maupun ilegal, menjadi penyebab utama sulitnya penjualan produk dalam negeri. Harga produk lokal dinilai tidak mampu bersaing karena biaya produksi di Indonesia lebih tinggi sekitar 35%–40% dibandingkan barang impor. Menurutnya, faktor lain seperti tingginya biaya energi, logistik, kualitas sumber daya manusia, hingga budaya kerja internal perusahaan turut memperburuk daya saing industri.
Riady menambahkan, meski investasi asing, khususnya dari Tiongkok, mulai masuk ke Indonesia, langkah tersebut belum mampu menahan laju PHK maupun penutupan pabrik. Ironisnya, banyak tenaga ahli Indonesia kini lebih memilih berkarier di luar negeri karena industri TPT negara lain sedang berkembang pesat.
Di sisi lain, Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), Nandi Herdiaman, meminta Kementerian Perindustrian lebih transparan dalam mengumumkan penerima kuota impor. Ia menilai keterbukaan mutlak diperlukan agar masalah di sektor benang dan kain tidak terulang, terlebih data Badan Pusat Statistik menunjukkan impor bahan tersebut terus meningkat dalam lima tahun terakhir sementara produsen lokal justru berguguran.
Meski demikian, Nandi menyambut baik terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 17 Tahun 2025 yang mewajibkan importir umum diverifikasi sebelum memperoleh kuota impor. Ia menilai aturan ini bisa membuka peluang bagi industri kecil, terutama konveksi pakaian jadi. Namun, tanpa adanya pembatasan kuota yang jelas, industri dalam negeri akan tetap tertekan. Karena itu, ia mengusulkan agar impor pakaian jadi dan produk tekstil lainnya dibatasi maksimal 50 ribu ton per tahun. Dengan kapasitas produksi nasional mencapai 2,8 juta ton per tahun, terdiri dari 2 juta ton untuk kebutuhan domestik dan 500 ribu ton untuk ekspor, Nandi menegaskan kemampuan industri lokal sebenarnya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri.