Menanggapi kasus PT Sejahtera Bintang Abadi Tekstile Tbk (SBAT) yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Direktur Eksekutif Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Rayon Tekstil, Agus Riyanto, menyatakan hal ini sebagai bukti buruknya kinerja pemerintah, khususnya Kementerian Perindustrian sebagai pembina sektor.
Menurutnya, sudah sekitar tiga tahun pabrik tekstil berguguran, namun Kemenperin hanya melakukan pembahasan tanpa tindakan nyata.
“Bahkan nasib buruh Sritek dan 60 perusahaan lainnya yang tutup sampai saat ini masih terlunta-lunta, tapi oknum pejabatnya masih pesta bagi-bagi kuota impor,” ucap Agus.
Agus menjelaskan bahwa deindustrialisasi yang masif terus terjadi, sementara Kemenperin justru terus mengelak dan hanya melaporkan rencana investasi dengan realisasi yang minim. Padahal, penyebab deindustrialisasi sangat jelas: banjir impor, di mana kuota impor ada di tangan Kemenperin.
“Tapi setiap upaya pembendungan impor selalu dihalangi oleh mafia kuota impor yang dikendalikan oleh oknum pejabatnya sendiri,” tegasnya.
Ia menambahkan, dalam aturan Permendag memang kuota ini dikecualikan untuk AOE-MITA yang berada dalam pengawasan Bea Cukai, namun jumlahnya sangat sedikit.
“Berani nggak Kemenperin transparan dan buka data: kuota impor mereka berikan kepada siapa saja, jumlahnya berapa banyak? Karena sudah jadi rahasia umum di kalangan tekstil kalau kuota besar hanya diberikan kepada sekitar 20 perusahaan yang dipunyai oleh tiga orang saja,” ungkap Agus.
Menurutnya, pembelaan apa pun yang disampaikan Kemenperin akan sulit dipercaya karena data BPS menunjukkan angka impor terus naik. Termasuk alasan bahwa industri lokal tidak mampu memenuhi kebutuhan domestik yang terkesan omong kosong, sebab puluhan pabrik tutup akibat tidak mampu bersaing dengan barang impor murah karena dumping.
Sebelumnya, IKA Tekstil mengusulkan pengenaan anti-dumping dan safeguard untuk membendung impor. Namun, Agus menilai usulan tersebut tidak akan didengar oleh Kemenperin, karena semua mekanisme perlindungan industri baik tarif maupun non-tarif selalu mereka tolak—kecuali sistem kuota impor melalui pertek, di mana mereka menjadi pemain utamanya.
“Bahkan kaki tangan importir ini juga ada di institusi seperti APINDO. Makanya ketum APINDO bicara pengenaan trade remedies, tapi waketumnya justru menolaknya,” tegas Agus.
Pernyataan Agus dikonfirmasi oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Farhan Aqil, yang menyebut bahwa dalam kasus anti-dumping benang filament tertentu asal China beberapa waktu lalu, Kemenperin justru menolak, dan hal itu menjadi pertimbangan Menteri Perdagangan.
“Padahal dalam beberapa kesempatan, baik wamen maupun jubir Kemenperin berbicara perlunya pengenaan BMAD atau safeguard sebagai perlindungan. Tapi yang dibicarakan berbeda dengan yang dilakukan,” ucap Farhan.
Ia menegaskan, dumping adalah fakta yang tidak ada kaitannya dengan daya saing industri nasional maupun supply-demand.
“Kan yang dikenakan hanya untuk beberapa produsen dari satu negara saja, masih bisa impor dari puluhan negara lainnya,” tambahnya.
APSyFI menilai alasan penolakan Kemenperin atas pengenaan BMAD hanya mengada-ada dan ditujukan untuk kepentingan kelompok importir tertentu saja.