Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional kembali berada dalam kondisi darurat. Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) secara resmi mengirim surat kepada Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, untuk meminta audiensi membahas langkah penyelamatan sektor ini dari gempuran impor ilegal dan praktik dumping produk asal China.

Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta menegaskan bahwa industri tekstil Indonesia tengah “berdarah-darah.” Dalam dua tahun terakhir, sedikitnya 60 perusahaan tutup dan ribuan pekerja mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat tidak mampu bersaing dengan banjir produk impor murah yang diduga masuk secara ilegal.

“Industri TPT ini terintegrasi dari hulu ke hilir. Namun kini rantai pasok terputus karena praktik impor ilegal dan dumping produk dari China,” ujar Redma dalam surat yang dikutip pada Senin (13/10/2025). Ia menambahkan bahwa semangat Menteri Keuangan dalam memberantas impor ilegal menjadi harapan baru bagi industri yang selama ini menjadi penopang ekspor dan lapangan kerja nasional.

Dalam surat tersebut, APSyFI juga mengajukan sejumlah usulan konkret untuk memperbaiki tata kelola importasi TPT dan memperkuat pengawasan di lapangan.

Pertama, APSyFI meminta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menerapkan sistem elektronik data interchange (EDI) dengan master bill of lading (B/L) sebagai dokumen utama pada pemberitahuan impor barang (PIB). Selama ini, menurut Redma, sistem yang ada tidak berbasis pada master B/L, sehingga membuka celah bagi importir nakal melakukan mis declare, seperti under invoicing dan pelarian HS code, yang membuat barang mereka lolos tanpa pemeriksaan fisik di jalur hijau.

Kedua, APSyFI mendorong agar semua kontainer diperiksa dengan teknologi AI scanner, dan jika ditemukan ketidaksesuaian antara isi dan dokumen, maka wajib masuk jalur merah untuk pemeriksaan fisik. Selain itu, importasi barang jadi diusulkan hanya dilakukan di pelabuhan tertentu yang memiliki fasilitas pemindaian lengkap.

Ketiga, asosiasi meminta agar fasilitas impor untuk tujuan ekspor dibatasi hanya untuk perusahaan di Kawasan Berikat (KB) dan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE), disertai peningkatan sistem pengawasan. Mereka juga mendesak agar fasilitas Pusat Logistik Berikat (PLB), Gudang Berikat (GB), dan MITA dihapus karena kerap disalahgunakan.

Keempat, APSyFI menilai perlu adanya revisi aturan barang bawaan dan barang kiriman, yang selama ini sering dijadikan jalur alternatif penyelundupan produk tekstil murah.

Kelima, asosiasi menuntut pelarangan impor borongan atau berbasis kubikasi, serta penyelidikan menyeluruh terhadap semua pihak yang terlibat dalam praktik importasi ilegal, termasuk pihak yang melindungi aktivitas tersebut.

“Lemahnya penegakan hukum telah membentuk jaringan mafia impor yang melibatkan oknum importir, jasa logistik, petugas bea cukai, hingga pejabat tertentu dengan perlindungan aparat penegak hukum,” ungkap Redma.

Melalui surat ini, APSyFI berharap bisa bertemu langsung dengan Menteri Keuangan dan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) untuk menjelaskan kondisi riil industri TPT nasional, sekaligus dampak berganda (multiplier effect) yang akan timbul apabila kebijakan trade remedies diterapkan dengan tegas.

Langkah penyelamatan yang cepat dan menyeluruh dianggap penting agar industri tekstil Indonesia tidak semakin terpuruk. Sebab, di tengah persaingan global yang ketat, industri TPT bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal keberlangsungan jutaan tenaga kerja dan eksistensi manufaktur nasional.