Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) tengah mendapatkan momentum baru setelah pemerintah memperkuat langkah perlindungan terhadap pasar domestik. Dua kebijakan penting yang baru saja diterbitkan oleh Kementerian Keuangan menjadi sorotan utama pelaku industri, yakni penerapan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) atas impor produk benang kapas melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 67 Tahun 2025, serta komitmen Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk memberantas impor pakaian bekas ilegal atau balpres.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, menilai kebijakan baru ini dapat memberikan dorongan bagi industri pemintalan yang saat ini masih beroperasi dengan tingkat utilisasi di bawah 45%. Menurutnya, PMK No. 67/2025 berpotensi meningkatkan permintaan hingga 50%, meskipun efeknya tidak akan langsung terasa karena masih banyak stok kain impor di pasar. Ia juga menegaskan bahwa penghentian impor balpres akan berdampak besar pada pemulihan industri hilir yang selama ini tertekan oleh banjir barang ilegal.

Redma mengungkapkan bahwa impor pakaian bekas dan bahkan pakaian baru secara ilegal semakin marak, dengan estimasi sekitar 20.000 ball atau 300 kontainer per bulan yang masuk ke Indonesia, setara dengan 21 juta potong pakaian. Ia berharap pemerintah bertindak tegas menghentikan praktik tersebut demi menjaga keberlangsungan industri dalam negeri.

Dukungan serupa datang dari Ketua Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Anne Patricia Sutanto. Ia menyebut penindakan terhadap impor balpres ilegal sebagai langkah strategis membangun ekosistem pasar domestik yang sehat. Pelaku industri TPT nasional, menurut Anne, siap memenuhi kebutuhan dalam negeri sebagai pengganti produk ilegal yang beredar.

Anne yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Garment dan Textile Indonesia (AGTI) menilai PMK No. 67/2025 akan membantu menjaga likuiditas industri dan mempertahankan tenaga kerja. Namun, ia menekankan pentingnya sinkronisasi kebijakan antara Kemenkeu, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian, terutama dalam pengaturan HS Code, tata niaga bahan baku, serta restitusi pajak.

Ia juga mengingatkan bahwa industri TPT sangat dipengaruhi oleh dinamika global, mulai dari geopolitik hingga perubahan rantai pasok internasional. Karena itu, kebijakan nasional perlu disusun secara adaptif dan berbasis data lintas sektor. Anne mendorong pembentukan sistem common shared data antar kementerian agar setiap kebijakan perdagangan dan fiskal dapat diterapkan secara fleksibel, tepat sasaran, dan mendukung daya saing industri.

Dari sisi kinerja, Kementerian Perindustrian mencatat bahwa subsektor tekstil dan pakaian jadi tumbuh sebesar 5,39% sepanjang Oktober 2024 hingga Juni 2025. Dalam periode yang sama, investasi mencapai Rp16,43 triliun dengan nilai ekspor sebesar US$11,19 miliar, sementara rata-rata utilisasi industri berada di angka 65,37%. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyebut pemerintah terus berupaya menyeimbangkan neraca industri dan perdagangan agar produk dalam negeri mendapat ruang lebih besar di pasar nasional.

Meski demikian, Redma memberikan catatan terhadap data tersebut. Ia menilai angka pertumbuhan belum sepenuhnya mencerminkan kondisi riil karena masih adanya impor ilegal yang tidak tercatat di Bea Cukai. Selain itu, peningkatan investasi yang terjadi sebagian besar merupakan realisasi pesanan mesin dari tahun-tahun sebelumnya, bukan investasi baru yang langsung memperluas kapasitas produksi.

Pandangan serupa disampaikan Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa. Ia menegaskan bahwa pertumbuhan industri tidak semata karena peningkatan produksi, tetapi juga karena akumulasi investasi yang tertunda. Menurut Jemmy, tantangan utama yang harus diatasi adalah lemahnya daya beli masyarakat dan perlindungan terhadap pasar domestik dari serbuan produk impor murah.

“Kalau daya beli lemah, hasil produksi industri mau dijual ke mana? Perlindungan juga penting, sebab produk dari negara lain yang tak terserap di pasar mereka akan membanjiri negara yang perlindungannya lemah,” ujar Jemmy.

Sementara itu, Anne menilai industri TPT masih memiliki peluang pertumbuhan positif, terutama jika didukung kepastian regulasi ketenagakerjaan, efisiensi logistik, dan penurunan biaya energi. Ia meyakini bahwa dengan komitmen pemerintah terhadap deregulasi dan sinkronisasi kebijakan fiskal serta industri, sektor padat karya seperti tekstil dan garmen bisa terus berkembang dan memperkuat posisi Indonesia di pasar global.

Kebijakan baru pemerintah dianggap sebagai sinyal optimisme bagi kebangkitan industri tekstil nasional. Namun, keberhasilannya sangat ditentukan oleh konsistensi pelaksanaan di lapangan, sinergi antar kementerian, serta dukungan nyata terhadap industri kecil dan menengah yang menjadi tulang punggung sektor ini.