Tahun 2025 menjadi periode penuh tantangan bagi industri tekstil Indonesia. Sektor yang selama ini menjadi penopang lapangan kerja terbesar di manufaktur tengah menghadapi tekanan berat akibat derasnya arus barang impor yang membanjiri pasar domestik. Penurunan permintaan, keterbatasan bahan baku, hingga gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran menjadi potret nyata dari krisis yang melanda industri ini.
Data dari Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) menunjukkan bahwa sepanjang Januari hingga Oktober 2025, sebanyak 47.115 pekerja di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) telah kehilangan pekerjaan. Jika diakumulasi sejak tahun 2023, jumlah PHK mencapai 126.160 pekerja dari 59 perusahaan TPT dan 13 perusahaan non-TPT. Kondisi ini menjadikan industri tekstil sebagai sektor dengan tingkat PHK tertinggi di Indonesia.
Presiden KSPN, Ristadi, menjelaskan bahwa fenomena PHK sebenarnya sudah terjadi sejak akhir 2022, namun laporan resmi banyak baru diterima pada 2024. “Sepanjang tahun 2024 laporan yang kami terima mencapai 79.045 pekerja terkena PHK, sementara dari Januari hingga Oktober 2025 jumlahnya bertambah 47.115 pekerja,” ungkapnya.
Merosotnya industri tekstil juga dirasakan oleh pelaku usaha konveksi. Ketua Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), Nandi Herdiaman, menilai bahwa masuknya barang impor murah, khususnya dari China, menjadi penyebab utama terpuruknya industri lokal. Menurutnya, banyak produk asing yang beredar di pasar domestik tanpa pengawasan ketat, bahkan sebagian di antaranya masuk secara ilegal.
“Impor barang ilegal yang tidak terkontrol dan produk murah dari China membuat produk lokal kalah bersaing,” ujarnya dalam rapat bersama Komisi VII DPR RI pada 13 November 2025. Nandi dan para pengusaha konveksi berharap pemerintah bersama DPR segera mengambil langkah konkret untuk memperketat pengawasan dan melindungi industri dalam negeri.
Pemerintah sendiri menyadari ancaman serius yang dihadapi industri TPT. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan bahwa berbagai kebijakan tengah disiapkan untuk memperkuat daya saing industri nasional. Beberapa langkah yang ditempuh antara lain pemberian insentif fiskal dan nonfiskal, peningkatan keterampilan tenaga kerja melalui program pendidikan vokasi, serta percepatan restrukturisasi mesin dan peralatan produksi agar industri lebih efisien dan modern.
“Pemerintah terus memberikan dukungan agar industri ini dapat bertransformasi menjadi lebih efisien, modern, dan berdaya saing global,” ujar Agus dalam keterangannya.
Meski demikian, efektivitas kebijakan tersebut masih menjadi pertanyaan besar di tengah derasnya gelombang impor dan lemahnya permintaan pasar domestik. Banyak pelaku usaha menilai bahwa tanpa pengawasan ketat terhadap barang impor dan dukungan nyata terhadap industri hulu, kebijakan insentif saja tidak cukup untuk menyelamatkan sektor tekstil.
Kondisi saat ini menjadi pengingat bahwa industri tekstil membutuhkan kebijakan yang konsisten dan berpihak pada keberlangsungan produksi dalam negeri. Tanpa langkah tegas untuk membendung impor ilegal serta memperkuat rantai pasok nasional, sektor ini berisiko kehilangan daya saing dan menyusut lebih dalam di tahun-tahun mendatang.