Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) memberikan tanggapan terhadap rencana dibukanya pabrik tekstil oleh perusahaan dari Cina dan Singapura di Indonesia. Meskipun pemerintah berupaya menarik investasi asing ke tanah air, API menyayangkan waktu pengumuman rencana tersebut yang dilakukan ketika industri tekstil dalam negeri sedang mengalami penurunan.
"Ya memang disayangkan, mengapa harus jualan investasi industri padat karya yang sedang bermasalah," kata Direktur API, Danang Girindrawardana, saat dihubungi Tempo, Sabtu, 29 Juni 2024.
Ketika ditanya apakah rencana ini akan berdampak negatif terhadap industri lokal, Danang menilai hal tersebut tidak akan menjadi ancaman besar. Ia menyatakan bahwa industri tekstil dan produk tekstil domestik tetap mampu bersaing dengan pabrik yang didirikan melalui penanaman modal asing.
"Soal ancaman, tidaklah. Biasa saja. Kan sejak dulu di Indonesia juga banyak industri tekstil dari Korea. Yang penting pemerintah harus adil, menerapkan kebijakan yang sama antara penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing," tambahnya.
Namun, Danang mengingatkan agar tidak ada perlakuan istimewa untuk investasi asing tersebut. Pemerintah harus memastikan bahwa lahan dan izin AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) tidak diberikan secara mudah hanya untuk investor asing, sementara industri lokal dipersulit dan harus menanggung biaya tinggi.
Di sisi lain, Danang mendesak agar kondisi industri tekstil dalam negeri segera dibenahi. Menurutnya, sektor tekstil memiliki peran penting dalam perekonomian karena mampu menyerap banyak tenaga kerja.
"Perlu disusun reformasi regulasi demi pembenahan iklim investasi yang sehat pada industri padat karya. Perlindungan industri padat karya sangat penting demi serapan tenaga kerja yang lebih massif," katanya.
Sementara itu, Ketua Umum API, Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, menyoroti merosotnya produksi tekstil dan produk turunannya akibat banjirnya produk impor di pasar domestik. Ia mengatakan bahwa produk dalam negeri kalah bersaing dengan produk impor yang harganya lebih murah.
"Turunnya permintaan karena harga produk TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) Indonesia tidak dapat bersaing dengan produk impor. Produk dalam negeri bersaing dengan produk impor yang lebih murah," jelasnya.
Penurunan permintaan tekstil menyebabkan turunnya produksi di sejumlah pabrik, yang berdampak pada maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di sentra-sentra industri tekstil. Jemmy menyebutkan bahwa pusat industri yang paling terdampak berada di wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah.
"Hingga Mei 2024, total PHK yang terjadi di industri TPT kurang lebih terdapat 10.800 tenaga kerja yang terkena PHK. Hingga kuartal I-2024 terjadi kenaikan jumlah PHK sebesar 3.600 tenaga kerja atau naik sebesar 66,67 persen secara year on year (yoy)," katanya.
Sebelumnya, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) mengungkapkan informasi terbaru perihal rencana investasi perusahaan asing untuk membangun pabrik tekstil di Indonesia.
Deputi Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves, Septian Hario Seto, menyatakan bahwa perusahaan asing yang akan menanamkan modalnya di Indonesia untuk pabrik tekstil berasal dari Cina dan Singapura. Namun, Seto enggan menyebutkan nama-nama perusahaan yang akan berinvestasi tersebut.
"Perusahaan yang sudah siap investasi ada 12," kata Seto kepada Tempo, Kamis, 27 Juni 2024.
Seto menjelaskan bahwa lokasi pabrik tekstil tersebut direncanakan berada di wilayah Pulau Jawa, mencakup Jawa Barat dan Jawa Tengah, dengan lokasi di Subang, Brebes, Karawang, Klaten, Solo, dan Sukoharjo.