Penguatan industri tekstil nasional dinilai tak bisa dilepaskan dari upaya penyederhanaan regulasi, khususnya terkait izin impor bahan baku. Kebijakan yang lebih sederhana diyakini akan memperkuat daya saing produk dalam negeri sekaligus menekan maraknya thrifting pakaian impor yang membanjiri pasar Indonesia.

Ketua Umum Asosiasi Garmen dan Tekstil Indonesia (AGTI), Anne Patricia Sutanto, menyampaikan bahwa Indonesia sejatinya memiliki kapasitas besar untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik maupun global. Namun, sejumlah hambatan struktural seperti ketidakselarasan kebijakan dan standar internasional masih menjadi kendala bagi industri untuk berkembang optimal. Pernyataan ini disampaikan Anne usai melakukan audiensi dengan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pada awal pekan.

Anne menilai pemerintah telah menunjukkan komitmen dalam mendukung kelancaran pasokan bahan baku impor, terutama untuk jenis yang belum dapat diproduksi atau belum memenuhi standar kualitas di dalam negeri. Ia menegaskan pentingnya koordinasi lintas kementerian demi menghindari aturan tumpang tindih yang kerap memperlambat alur produksi industri garmen dan tekstil. Menurutnya, penyelarasan kebijakan menjadi faktor krusial untuk meningkatkan daya saing.

Ia menjelaskan bahwa impor masih dibutuhkan, terutama untuk jenis kain atau material yang memerlukan teknologi khusus serta standar mutu global yang ketat. Keterbatasan product development pada sejumlah pabrik lokal membuat beberapa merek internasional masih bergantung pada bahan impor demi memastikan kesesuaian spesifikasi teknis dan keberlanjutan produk. Industri nasional sesungguhnya memiliki kapasitas, namun belum merata dan belum sepenuhnya mampu memenuhi standar Environmental, Social and Governance (ESG) yang kini menjadi syarat penting di pasar global.

Menurut Anne, sebagian besar bahan kain yang ditujukan untuk pesanan merek global masih harus diimpor karena belum banyak pabrik dalam negeri yang dapat memproduksi kain dengan kualitas konsisten, terutama untuk kategori performance fabric dan tekstil berkelanjutan. Di sisi lain, kebutuhan pasar domestik seperti busana muslim dan kerudung dinilai sudah mampu dipenuhi oleh produsen lokal, meski beberapa jenis kain tertentu tetap memerlukan impor karena keterbatasan teknologi finishing pada pabrik dalam negeri.

Anne menambahkan bahwa kemandirian industri bahan baku dan meningkatnya daya saing produk lokal dapat membantu mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap pakaian bekas impor atau thrifting. Namun, ia menegaskan bahwa pengurangan praktik thrifting tidak hanya bergantung pada kemampuan produksi dalam negeri, melainkan juga pengawasan regulasi dan perubahan perilaku pasar. Ia menutup pernyataannya dengan menekankan perlunya kepastian kebijakan untuk mewujudkan ekosistem industri yang sehat dan berdaya saing.