Catatan Redaksi dari Redma Gita Wirawasta (Ketua Umum APSyFI)

Lampu-lampu di lantai produksi sebuah pabrik tekstil di Jawa Barat mulai meredup satu per satu. Bukan karena jam kerja telah usai, melainkan karena deru mesin tenun yang biasanya memekakkan telinga kini digantikan oleh kesunyian yang mencekam. Di balik meja kantornya, Redma Gita Wirawasta menatap tumpukan data yang kian hari kian mengkhawatirkan. Sebagai Ketua Umum APSyFI, ia tidak hanya melihat angka-angka; ia melihat ribuan wajah buruh yang terancam kehilangan mata pencahariannya.

Bagi Redma, industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia saat ini tidak sedang mengalami "siklus penurunan" biasa. Industri ini sedang dikepung dari segala penjuru oleh gempuran yang ia sebut sebagai ketidakadilan global yang sistematis.

Serangan Tanpa Suara di Pelabuhan

Narasi perjuangan Redma seringkali bermula di gerbang-gerbang pelabuhan. Di matanya, pelabuhan adalah medan tempur yang tidak seimbang. Ia kerap menyuarakan betapa mudahnya barang-barang impor—terutama dari Tiongkok—masuk dengan harga yang tidak masuk akal. Praktik dumping dan under invoicing bukan sekadar istilah teknis baginya; itu adalah peluru yang langsung menghantam jantung produsen kain dan benang lokal.

"Bagaimana mungkin harga barang jadi impor bisa lebih murah daripada harga bahan bakunya saja?" tanya Redma dalam banyak kesempatan. Ia melihat adanya ketimpangan integritas di perbatasan. Modus pelarian pos tarif dan masuknya kontainer-kontainer berisi pakaian jadi secara ilegal melalui jalur "belakang" adalah luka menganga yang selama bertahun-tahun gagal dijahit oleh kebijakan yang tegas. Baginya, tanpa pengawasan Bea Cukai yang bersih dan berani, segala bentuk inovasi di dalam pabrik akan menjadi sia-sia.

Labirin Kebijakan yang Mematikan

Redma seringkali merasa seperti sedang berteriak di tengah badai saat berhadapan dengan birokrasi. Ia adalah salah satu pengkritik paling keras terhadap relaksasi aturan impor, seperti yang terjadi pada Permendag Nomor 8 Tahun 2024. Dalam pandangannya, pelonggaran tersebut adalah karpet merah bagi barang impor untuk menghancurkan sisa-sisa pertahanan industri lokal.

Ia membayangkan sebuah ekosistem di mana pemerintah berdiri tegak di depan para pengusaha lokal, bukan sebagai penghambat, melainkan sebagai pelindung. Redma merindukan kembalinya "Pertimbangan Teknis" (Pertek) yang ketat. Ia berargumen bahwa negara seharusnya hanya membuka keran impor untuk bahan yang memang tidak bisa kita buat sendiri, seperti kapas. Namun, untuk kain, benang, dan garmen yang sudah mampu diproduksi oleh anak bangsa, pintu itu seharusnya terkunci rapat demi kedaulatan industri.

Melawan Mitos "Thrifting" dan Murah

Di tengah tren anak muda yang menggemari baju bekas impor atau thrifting, Redma mengambil posisi yang tidak populer namun logis secara ekonomi. Ia tidak membenci barang murah, namun ia membenci kompetisi yang tidak adil. Baju bekas impor, baginya, adalah limbah negara lain yang dibuang ke pasar Indonesia dengan biaya modal hampir nol.

"Kita tidak bisa menyuruh pabrik lokal berkompetisi dengan barang yang didapat secara gratis atau ilegal," tegasnya. Baginya, setiap helai baju bekas impor yang terjual adalah satu jam kerja yang hilang dari buruh jahit di Solo, Bandung, atau Majalengka. Ini bukan soal melarang orang bergaya, tapi soal menyelamatkan martabat industri yang memberikan makan bagi jutaan keluarga.

Mimpi tentang Kemandirian yang Utuh

Harapan Redma sederhana namun mendalam: ia ingin melihat mata rantai tekstil dari hulu ke hilir kembali menyambung kuat. Ia membayangkan masa depan di mana desainer lokal bangga menggunakan kain hasil tenunan dalam negeri, dan kain itu dibuat dari benang yang dipintal di pabrik-pabrik lokal yang modern.

Namun, di tahun 2025 ini, Redma tahu bahwa waktu kian sempit. Setiap hari yang dilewati tanpa kebijakan perlindungan (safeguard) yang efektif berarti satu pabrik lagi yang mungkin harus merumahkan karyawannya. Perjuangannya bukan hanya soal menjaga angka ekspor atau neraca dagang, melainkan menjaga agar nyala api di tungku-tungku pabrik tekstil Indonesia tidak benar-benar padam.

Bagi Redma Gita Wirawasta, tekstil bukan sekadar kain. Ia adalah jalinan sejarah, kemandirian bangsa, dan terakhir, benteng pertahanan bagi kesejahteraan rakyat kecil yang hanya ingin bekerja dengan tenang di balik deru mesin yang mereka cintai.