Kebijakan tarif tinggi Amerika Serikat (AS) yang mulai berlaku sejak sebulan terakhir kini dirasakan langsung oleh eksportir Indonesia. Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Toto Dirgantoro mengungkapkan bahwa meskipun dampaknya belum terlalu signifikan karena masih tahap awal, sejumlah sektor sudah mulai terimbas.

“Tarif ini memang sudah berdampak, meskipun belum signifikan sekali karena baru permulaan dan masih bisa dinegosiasikan dengan buyer di sana. Tetapi dalam kondisi ekonomi global yang sedang berat, ekspor pasti ikut tertekan,” ujar Toto pada Rabu (3/9).

Ia menjelaskan bahwa data penurunan ekspor nasional ke AS baru akan terlihat jelas setelah laporan Badan Pusat Statistik (BPS) dirilis. Namun demikian, sektor tekstil, produk tekstil, hingga elektronik sudah mulai merasakan beban tarif tersebut.

Toto menambahkan, upaya diversifikasi pasar sebenarnya telah dilakukan sejak lama dengan menyasar negara-negara non-tradisional. Walau hasilnya belum mampu menggantikan dominasi pasar utama seperti AS, beberapa realisasi sudah mulai tampak.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa hambatan utama ekspor Indonesia tidak hanya berasal dari tarif, melainkan juga tingginya biaya logistik dan produksi dalam negeri. Hal ini membuat produk Indonesia kalah bersaing dibanding negara lain.

“Misalnya produk kita dikenakan tarif 19% dan Vietnam 20%, tapi kos produksi dan logistik Vietnam jauh lebih rendah. Jadi harga produk mereka tetap lebih kompetitif dibanding Indonesia,” jelasnya.

Untuk itu, GPEI mendorong pemerintah agar menjadikan situasi ini sebagai momentum menekan biaya logistik domestik. Dengan demikian, daya saing produk ekspor Indonesia dapat tetap terjaga meskipun dihadapkan pada tarif tinggi dari negara tujuan.